Buruh Tolak PP 36/2021 Jadi Dasar Penetapan UMP, Upah Cuma Naik 2%

ANTARA FOTO/Darryl Ramadhan/YU
Pengunjukrasa dari sejumlah elemen buruh membawa poster saat mengikuti aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (10/11/2022).
16/11/2022, 18.24 WIB

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak penetapan UMP/UMK tahun 2023 dengan mendasarkan pada PP no. 36 tahun 2022. Ada tiga alasan mengapa kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan tersebut tidak tepat.

“Kalau menggunakan PP 36, kenaikannya hanya 2-4%. Ini maunya Apindo. Mereka tidak punya akal sehat dan hati. Masak naik upah di bawah inflansi,” ujar Ketua KSPI, Said Iqbal, kepada Katadata.co.id, Rabu (16/11).

Dia mengatakan, Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo selalu menjadikan alasan resesi global agar pemerintah menggunakan PP no.36 tahun 2021. Selain itu Apindo juga mengatakan jika saat ini terjadi 25 ribu buruh PHK. Namun demikian, Said mengatakan, Indonesia tidak mengalami resesi.

“Resesi itu terjadi jika dalam dua quartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif. Sedangkan saat ini pertumbuhan ekonomi kita selalu positif,” kata Said iqbal.

Iqbal mengatakan, ada tiga alasan mengapa PP 36/2021 tidak bisa dijadikan alasan untuk menentukan upah buruh 2023:

1.  UU Cipta Kerja sudah dinyatakan inskonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

 Alasan pertama yaitu UU Cipta Kerja sudah dinyatakan inskonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, karena PP 36/2021 adalah aturan turunan dari UU Cipta Kerja, maka tidak bisa digunakan sebagai acuan dalam penetapan UMP/UMK.

“Karena PP 36/2021 tidak digunakan sebagai dasar hukum, maka ada dua dasar yang bisa digunakan,” kata Said Iqbal.

Dasar pertama adalah menggunakan PP No 78 Tahun 2015. Di mana kenaikan upah minimum besarnya dihitung dari nilai inflansi ditambah pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dasar hukum kedua, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Permenaker khusus untuk menetapan UMP/UMK Tahun 2023.

2. Harga BBM naik dan upah tidak naik tiga tahun berturut-turut

Upah yang tidak naik selama tiga tahun berturut-turut menyebabkan daya beli buruh turun 30%. Oleh karena itu, daya beli buruh yang turun tersebut harus dinaikkan dengan menghitung inflansi dan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Iqbal, ketika menggunakan PP 36/2021, maka nilai kenaikan UMP/UMK di bawah inflansi. Sehingga daya beli buruh akan semakin terpuruk.

3.  Inflansi secara umum mencapai 6,5%.

Oleh karena itu, Said mengatakan, harus ada penyesuaian antara harga barang dan kenaikan upah. “Kalau menggunakan PP 36, kenaikannya hanya 2-4%. Ini maunya Apindo. Mereka tidak punya akal sehat dan hati. Masak naik upah di bawah inflansi,” ujar Said Iqbal.

Said Iqbal mengatakan, inflasi 6,5 persen adalah inflansi umum. Secara khusus, konsumsi yang kenaikannya signifikan adalah makanan yang naik 15 persen, sektor transportasi naik lebih dari 30 persen, dan sewa rumah sebesar 12,5 persen.

“Litbang Partai Buruh memprediksi, pertumbuhan ekonomi bisa berkisar rata-rata 4-5 persen Januari-Desember 2022. Kalau inflasi 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi 4-5 persen, yang paling masuk akal angka kompromi kenaikan UMP/UMK adalah di atas 6,5 persen hingga 13 persen,” katanya.

Said menegaskan, apabila Menaker memaksakan menggunakan PP Nomor 36 tahun 2021, buruh akan melakukan aksi bergelombang dan membesar, bahkan mogok nasional pada pertengahan Desember. Mogok ini diikuti oleh 5 juta buruh di seluruh provinsi Indonesia.

“Puluhan pabrik akan setop berproduksi, kalau Apindo dan Pemerintah memaksakan. Kami yakin Menteri Tenaga Kerja menggunakan dasar-dasar yang rasional, tidak menggunakan PP Nomor 36 tahun 2021, tapi PP Nomor 78 Tahun 2015 ” pungkasnya.

Berikut rincian upah minimum di seluruh provinsi pada 2022, seperti tertera dalam grafik.

Reporter: Nadya Zahira