Mengapa Indonesia Terancam Impor Beras Setelah 3 Tahun Swasembada?

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.
Pekerja mengangkut karung berisi beras di Gudang Perum Bulog Divre DKI Jakarta dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (25/11/2022).
26/11/2022, 22.00 WIB

Indonesia terancam impor beras setelah tiga tahun swasembada komoditas tersebut pada 2019 hingga 2021. Impor beras dibutuhkan untuk memenuhi target cadangan beras pemerintah atau CBP yang dikelola oleh Perum Bulog.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa impor beras tidak ada dalam rencana Badan Pangan Nasional pada awal 2022. Dia mengatakan, stok beras nasional juga masih aman yaitu mencapai 6,7 juta ton per 22 November 2022.

Namun demikian, cadangan beras pemerintah atau CBP yang dikelola Bulog hampir mencapai titik kritis. Per 22 November 2022, CBP Bulog mencapai 594.856 ton.

Jumlah tersebut jauh di bawah rata-rata CBP Bulog mencapai 1,2 juta ton. Jika tidak ada penambahan, CBP Bulog diperkirakan semakin susut hingga 399.550 ton pada Desember 2023.

"Yang menjadi masalah bukan stok beras di pasar, karena itu masih ada. Namun Bulog tidak memiliki cadangan beras pemerintah yang mencukupi," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (25/11).

Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, kemudian mengusulkan impor untuk menambah CBP beras tersebut. Pasalnya, dia kesulitan menyerap beras dari petani karena saat ini sedang memasuki masa tanam. Daripada menjual ke Bulog, pengepul atau penggilingan padi lebih memilih menyimpan beras untuk menjaga suplai rantai pasoknya.

"Kami usul impor, bukan karena kami tidak pro petani. Selama empat tahun kami serap hanya dari petani lokal. Namun saat ini, berasnya tidak ada," kata pria yang kerap disapa Buwas tersebut saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, Rabu (23/11).

Berikut tiga penyebab Indonesia terancam impor setelah tiga tahun swasembada pangan:

1. Kegagalan perencanaan penyerapan CBP

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa saat ini emang bukan waktu yang tepat bagi Bulog menyerap beras. Seharusnya, Bulog menyerap CBP saat panen raya di awal tahun.

"Musim begini susah cari stok beras karena lagi bukan musim panen, sehingga mengakibatkan Bulog sulit serap beras," ujarnya.

Menurut dia, Bulog seharusnya memiliki perencanaan yang tepat dalam menyerap CBP dari petani. Bulog juga seharusnya memiliki wewenang yang lebih besar dalam menyerap beras petani, termasuk dalam anggaran.

2. Kegagalan koordinasi dan komunikasi antara Bulog, Kementan, dan Bapanas

Direktur Center of Economic and Law Studies atau Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara,mengatakan bahwa tiga lembaga yang bertanggung jawab pada penyediaan beras yaitu Bulog, Kementerian Pertanian atau Kementan, dan Badan Pangan Nasional tidak satu suara dalam menyikap kebijakan impor. Tiga lembaga tersebut bahkan memiliki data beras yang berbeda.

Bulog menyatakan sulit menyerap beras di lapangan karena barangnya tidak ada. Sementara itu, Kementan bersikukuh bahwa stok beras tersedia dan aman.

Kementan bahkan berjanji untuk menyuplai beras ke Bulog. Namun demikian, janji tersebut tidak terealisasi saat ini.

"Kondisi dinamis, bisa berubah. Ada koordinasi yang miss di situ yang seharusnya tidak terjadi," ujarnya.

3. Biaya produksi naik

Bhima mengatakan, kenaikan harga pupuk juga berpengaruh pada produksi beras petani. Harga pupuk yang melonjak menyebabkan biaya produksi gabah naik yang menyebabkan penurunan produksi beras.

Produksi beras pun cenderung stagnan selaam swasembada pangan tiga tahun terakhir. Berikut rinciannya seperti tertera dalam grafik.