Pemerintah diminta untuk memberlakukan sekaligus menaikkan bea keluar atau pajak ekspor jika nantinya ditetapkan kalah dalam gugatan dengan Uni Eropa di forum WTO terkait larangan ekspor bijih nikel.
Langkah ini dinilai sebagai jalan tengah untuk mengakomodasi kecenderungan pengusaha untuk menjual bijih nikel ke pasar luar negeri seraya memberi pendapatan tambahan negara lewat pungutan pajak ekspor.
Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, mengatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari pungutan pajak ekspor bijih nikel bisa dimanfaatkan untuk membangun industri pengolahan turunan mineral.
Langkah tersebut dirasa bisa berdampak positif pada serapan produk olahan mineral setengah jadi hasil hilirisasi pada pasar domestik. "Kalau pemberlakuan pajak dan bea keluar itu untuk perusahaan tambang itu harus ya. Kalau perlu dipatok lebih tinggi agar negara dapat manfaat," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (1/12).
Adapun serapan hasil produk pengolahan mineral oleh industri lanjutan di dalam negeri sebagian besar harus menjadi komoditas ekspor.
Produk-produk yang dimaksud adalah hasil pemurnian bijih nikel, yakni feronikel dan nickel pig iron. Nasib serupa juga dialami oleh hasil olahan bijih bauksit, Chemical Grade Alumina (CGA) dan Smelter Grade Alumina (SGA) yang dijual ke Malaysia dan Cina.
"Kita sudah punya industri hilir tetapi kita gak punya pasarnya. Siapa yang beli nikel mattenya PT Vale kalau dijual ke domestik? Setahu saya dikirim ke Jepang," ujar Ferdy.
Selain itu, hasil bea keluar dapat digunakan sebagai modal untuk membangun smelter pengolahan mineral pada perusahaan-perusahaan BUMN. Hal ini, ujar Ferdy, juga dapat menimbulkan dampak nyata bagi program hilirisasi.
"Karena selama ini yang jual nikel itu penambang-penambang kelas menangah ke bawah yang gak sanggup bangun smelter," kata Ferdy.
Adapun Kementerian Investasi menyatakan Indonesia telah kalah dalam gugatan dengan Uni Eropa di WTO terkait larangan ekspor bijih nikel. Namun demikian, pemerintah menekankan akan terus melawan gugatan tersebut di WTO.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan langkah pertama yang akan dilakukan dalam melawan gugatan tersebut adalah mengajukan banding. Adapun, cara kedua yang disiapkan salah satunya adalah menaikkan pajak ekspor bijih nikel.
"Jadi, silahkan saja mereka protes kita. Silahkan saja mereka bawa ke WTO, tapi negara ini berdaulat. Mereka sudah sepakat dalam G20 tentang hilirisasi," kata Bahlil di Istana Negara dalam saluran resmi Sekretariat Presiden, Rabu (30/11).
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah fokus menyiapkan langkah-langkah banding terkait gugatan Uni Eropa UE atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel di WTO.
Hal ini setelah Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan bahwa pembelaan pemerintah terkait kebijakan tersebut ditolak oleh WTO, yang artinya ada kemungkinan Indonesia diputus bersalah dan melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dijustifikasi dengan pasal XI.2 dan XX (d) GATT 1994.
Arifin mengatakan pemerintah belum berpikir untuk menerapkan kebijakan pajak ekspor atau bea keluar pada bijih nikel menyusul adanya putusan panel WTO yang menyebut Indonesia melanggar ketentuan terkait larangan ekspor bijih nikel.
Arifin menyebut, pemerintah sejauh ini baru akan merumuskan langkah-langkah untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut. Dia optimistis bahwa pemerintah bisa menuai hasil positif pada sesi banding sehingga Indonesia tak harus membuka kran ekspor bijih nikel.
"Kami belum kepikiran buat pajak ekspor bijih nikel. Kan belum putusan akhir ya, masih ada tahap-tahapnya," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (25/11).