Pemerintah tengah bersiap untuk mengajukan banding setelah World Trade Organization atau WTO menolak pembelaan Indonesia terkait larangan ekspor bijih nikel. Indonesia perlu mempersiapkan banding tersebut secara matang sehingga memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan gugatan.

Direktur Centre of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa pemerintah perlu mempersiapkan pengajuan banding dengan secara matang. Banyak negara berkembang, yang kurang melakukan persiapan matang saat menangani sengket di WTO.

"Ini masalah klasik di negara berkembang, kelemahan utama dalam proses negosiasi di segi substansi dan teknik negosiasi. Kalau siap bertanding di tingkat WTO, mulai dari pembuatan kebijakan, argumentasi pembelaan, dan kemampuan lobying harus paripurna," ujatnya kepada Katadata.co.id, Rabu (21/12).

Berikut dua amunisi yang perlu disiapkan Indonesia saat melakukan banding gugatan nikel di WTO:

1. Perkuat narasi tentang esensi nikel

Salah satu poin WTO menolak pembelaan gugatan larangan ekspor nikel Indonesia adalah karena panelis menilai nikel bukan produk yang esensial bagi Indonesia. Oleh sebab itu, Bhima mengatakan bahwa Indonesia perlu memperkuat narasi soal nikel sebagai bahan baku utama transisi energi di Indonesia.

Di saat yang bersamaan, negara Uni Eropa melakukan pembiayaan yang jumlahnya besar untuk transisi energi. Sementara untuk menuju net zero emission butuh mitigasi transportasi dari fosil ke kendaraan listrik.

"Uni Eropa harusnya mendukung hilirisasi nikel di Indonesia untuk percepat transisi energi," kata Bhima.

Selain itu, hilirisasi nikel pada penciptaan lapangan kerja dan pengurangan angka kemiskinan harusnya bisa dijadikan argumentasi pamungkas.

2. Evaluasi pengacara dan perwakilan Indonesia di WTO

Bhima mengatakan, tim pengacara dan perwakilan Indonesia di WTO perlu dievaluasi total. Hal itu juga mengacu pada kasus sengketa WTO sebelumnya seperti impor ayam dari Brazil.

Bhima mengatakan, adu argumentasi di tingkat internasional butuh kapasitas dan pengalaman yang cukup kredibel.

"Karena Indonesia sudah terlanjur masuk di WTO, jadi harus cari celah mempertahankan kebijakan," ujarnya.

 International Energy Agency atau IEA memperkirakan nilai penjualan sumber daya nikel dari kawasan Asia Tenggara pada 2020 baru mencapai US$15,2 miliar. Kemudian pada 2030 nilainya diproyeksikan naik dua kali lipat lebih menjadi US$36,6 miliar, dan meningkat lagi jadi US$40,8 miliar pada 2050.