Petani Tebu Tolak Impor Gula, Harga Tebu Petani Terancam Anjlok

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.
Pekerja menimbang dan mengemas gula pasir kiloan di Gudang Perum Bulog Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Jumat (2/4/2021). Kementerian Perdagangan menambahkan stok gula pasir impor untuk Pemerintah Aceh sebanyak 8.000 ton untuk memenuhi kebutuhan gula pasir selama bulan suci Ramadan dan Lebaran sekaligus untuk menstabilkan harga gula.
29/12/2022, 12.21 WIB

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia atau APTRI menyatakan bahwa para petani tebu menolak keputusan pemerintah untuk impor gula sebanyak 991.000 ton yang akan direalisasikan pada tahun depan.  Harga tebu hasil panen petani diperkirakan akan anjlok jika pemerintah memaksa impor gula.

Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikun, mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu melakukan impor gula tersebut karena stok di dalam negeri masih mencukupi. Berdasarkan perhitungannya, Indonesia total memiliki stok sebesar 4,6 juta ton pada 2022.

Stok tersebut berasal dari sisa stok 2021 sebesar 1,1 juta ton. Selain itu, stok gula bertambah dengan adanya impor gula putih sebesar 150.000 ton.

Pemerintah kemudian kembali mengeluarkan izin impor raw sugar 980 ribu ton di awal 2022, sehingga total impor 1,1 juta ton. Setelah itu, stok gula bertambah dari panen petani lokal sebesar 2,4 juta ton. 

Stok Akhir 2022 Cukup hingga Agustus

Sementara konsumsi gula di dalam negeri kurang lebih sebanyak 250.000 ton per bulan atau sekitar 3 juta ton per tahun. Dengan begitu, masih tersisa stok gula sebesar 1,6 juta ton pada akhir 2022.

Menurut Soemitro, stok gula yang tersisa hingga akhir 2022 bisa mencukupi kebutuhan hingga Agustus 2023. Stok gula tersebut akan bertambah dari panen petani pada Maret hingga Juni 2023.

"Jadi sudah cukup, tidak perlu impor itu. Tapi tetap saja impor dikeluarkan jadi saya hanya bisa pegang dada untuk sabar,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (29/12).

Dia berharap agar pemerintah bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan, dan segera mengkaji ulang kebijakan impor gula sebanyak 991 juta ton tersebut. Soemitro mengatakan keputusan pemerintah impor gula sama saja memakmurkan petani luar namun menyengsarakan petani dalam negeri.

“Kalau alasannya ini krisis pangan harusnya ini pemerintah mendorong produktivitas pangan kita, bukannya malah impor. Dengan melihat kebutuhan petani apa yang kurang, maka seharusnya didorong. Dengan memperbaiki waduk, bibit, pupuk, persiapan dorongan untuk petani dalam negeri,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau Zulhas menyatakan, bahwa pemerintah telah menetapkan untuk mengimpor gula kristal putih sebanyak 991 ribu ton. Keputusan tersebut ditetapkan setelah dilakukannya rapat terbatas atau ratas bersama stakeholder yang terkait.

Zulhas mengatakan, pemerintah juga mengimpor gula kristal rafinasi atau GKR sebanyak 3,6 juta ton yang nantinya akan disalurkan untuk industri makanan dan minuman. Selain itu, pemerintah juga mengimpor untuk gula kebutuhan khusus sebanyak 50 ribu ton.

Kemudian, dia menjelaskan bahwa tahun ini pemerintah melakukan impor gula sebanyak 500 ribu ton. Namun, impor yang telah diwujudkan baru sebanyak 300 ribu ton. Oleh sebab itu, Kemendag nantinya akan memberikan penalti kepada para importir yang belum mengirimkan permintaan sisa gula sebanyak 200 ribu ton tersebut. 

"Kemarin impor gula 500 ribu ton, yang melaksanakan itu kira-kira 300 ribu ton, 200 ribu ton yang tidak melaksanakan itu, nanti kita pinalti ya," ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia telah mengimpor 5,53 juta ton gula pada 2020. Dari jumlah tersebut, impor gula paling banyak berasal dari Thailand, yakni 2,02 juta ton atau 36,59% dari total volume impor gula tahun lalu.

Reporter: Nadya Zahira