Indeks Kepercayaan Industri atau IKI pada Desember 2022 mencapai 50,9 atau naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 50,89. Berdasarkan IKI, terdapat sebelas sektor yang ekspansi dan 12 sektor yang kontraksi.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan bahwa 11 sektor yang ekspansi tersebut mencapai sebesar 74,9% dibandingkan angka Produk Domestik Bruto Triwulan III-2022. Angka kontribusi tersebut meningkat dari bulan sebelumnya yang mencapai 71,3%.
Sedangkan 12 subsektor yang mengalami kontraksi hanya mencapai 25,1% dari jumlah PDB triwulan III-2022. Angka tersebut turun jika dibandingkan dengan November 2022 yang mencapai 28,7%.
Dengan demikian, IKI tetap tumbuh meskipun terdapat 12 subsektor yang kontraksi. Sayangnya Febri menolak menyebutkan secara rinci dari ke 12 subsektor tersebut yang masih mengalami kontraksi di bulan Desember ini.
Industri Kimia dan Farmasi Rebound
Sepanjang Desember 2022, subsektor Industri Bahan Kimia dan Barang Kimia memiliki pertumbuhan tertinggi. Pasalnya sektor resebut bisa rebound dari kontraksi bulan lalu menjadi ekspansi pada bulan ini.
“Jadi meningkat nilai IKI nya, dari yang sebelumnya kontraksi pada bulan November, menjadi ekspansi di bulan ini,” ujar Febri saat konferensi pers Indeks Kepercayaan Industri 2022, Jumat (30/12).
Febri mengatakan, sub sektor bahan kimia dan barang kimia megalami perbaikan mata rantai baik di domestik maupun global sehingga pasokan bahan baku lancar. Selain itu, terdapat peningkatan permintaan sehingga bisa memberikan kontribusi yang positif pada IKI.
Dia mengatakan, perlambatan sektor bahan kimia bulan lalu dipengaruhi oleh menurunnya permintaan. Fenomena tersebut terjadi sejak kasus obat sirop yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut.
"Berdasarkan laporan Satgas yang dibentuk Kemenperin, dari 124 perusahaan industri obat cair, hanya 22 yang bertahan di awal Desember," ujarnya.
Plt Dirjen Industri Kimia Farmasi Teksitil, Ignatius Warsito, stok industri farmasi sebenarnya tinggi, namun tidak bisa diedarkan akibat kasus gagal ginjal akut. Hal ini menyebabkan produksi menjadi terganggu.
"Dengan selesainya kasus gagal ginjal ini bisa mengakselerasi dari pada kebutuhan obat-obatan di dalam negeri maupun yang akan di ekspor," ujarnya.
Kementerian Kesehatan mencatat sudah ada 324 kasus gagal ginjal akut di Indonesia. Kasus gagal ginjal tersebut diduga disebabkan oleh obat sirop yang tercemar bahan berbahaya.