Kementerian Perdagangan atau Kemendag melaporkan nilai ekspor produk olahan nikel tumbuh hingga 398,39% pada periode Januari hingga November 2022 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya atau secara tahunan/year on year (YoY).
Jika dibandingkan dengan komoditas minerba lainnya, ekspor batu bara pada periode yang sama hanya meningkat 70,17%. Ini merupakan buah dari kebijakan larangan ekspor nikel mentah dan hilirisasi dengan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter.
“Nikel begitu dilarang punya nilai tambah yang luar biasa, ekspor olahan nikel tumbuh sangat tinggi sebesar 398,39%. Perbandingan produk-produk yang memiliki nilai tambah dengan yang tidak memiliki nilai tambah sangat terlihat sekali,” kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam Konferensi Pers Awal Tahun, di Jakarta, Senin (2/1).
Dia menambahkan bahwa kenaikan harga komoditas seperti nikel dan batu bara memang masih menjadi faktor utama pendorong kinerja ekspor Indonesia sebagai dampak supercycle commodity era atau periode di mana harga-harga komoditas mengalami kenaikan dalam waktu panjang.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, tahun ini nilai ekspor olahan nikel berupa besi baja dan bahan baku mineral ditaksir mencapai US$ 28,2 miliar atau setara Rp 442,74 triliun (kurs Rp 15.700 per dolar AS).
Luhut melaporkan, torehan ekspor komoditas besi baja pada tahun 2021 mencapai US$ 20,95 miliar, sedangkan produk olahan lanjutan bijih nikel menjadi bahan baku baterai juga berkontribusi pada capaian ekspor senilai US$ 310 juta pada tahun yang sama.
"Tahun ini (2022) untuk besi baja mungkin kisaran US$ 23 miliar atau US$ 26 miliar Kita beruntung tujuh tahun lalu kita sudah mulai hilirisasi," kata Luhut dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2022 pada Rabu (30/11).
Kemudian, Kemendag juga melaporkan bahwa Sejak kuartal IV-2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil terjaga di atas 5%. Meskipun sebelumnya pada kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021 mengalami kontraksi atau minus, ekonomi Indonesia mampu bangkit dan pulih secara bertahap hingga tumbuh 5,72% YoY pada kuartal III-2022.
“Selama pemulihan, ekspor menjadi salah satu komponen utama pendorong pertumbuhan ekonomi. Kontribusi ekspor barang dan jasa bahkan terus meningkat sejak kuartal II-2021 hingga kuartal III-2022, dari 20,46% menjadi 26,23% dari total PDB.” ujar Mendag.
Tak hanya itu, pertumbuhan ekspor barang dan jasa juga tercatat dua kali menjadi yang tertinggi di 2022, yaitu pada kuartal I dan II dengan pertumbuhan 16,22% YoY dan 19,74% YoY.
Dengan demikian, hal tersebut didorong oleh adanya nilai ekspor non migas pada kinerja ekspor total 2022 yang mencapai US$ 253,61 miliar. Tercatat pada Januari-November 2022, sudah melampaui capaian 2021 sebesar US$ 219,25 miliar.
Zulhas menuturkan, meskipun terjadi pelemahan global, selama periode tersebut (Januari-November 2022) ekspor produk manufaktur Indonesia masih tetap tumbuh. Besi baja tumbuh 37,11% YoY, alas kaki tumbuh 29,27% YoY, serta kendaraan dan bagiannya tumbuh 27,29% YoY.
Secara keseluruhan capaian kinerja ekspor yang lebih tinggi dari impor menjadikan neraca perdagangan Indonesia tetap surplus selama 31 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Pada Januari-November 2022 surplus sudah mencapai US$ 50,59 miliar. Angka tersebut menjadi rekor sejarah baru Indonesia karena melampaui rekor tertinggi sebelumnya di tahun 2006 dengan nilai surplus US$ 39,73 miliar