Sejumlah gerai ritel berdarah-darah sejak pandemi karena mengalami kerugian, sepi, atau tutup permanen. Sebagian ritel tersebut misalnya Transmart, Giant, dan Matahari Department Store.
Pada Juli 2021, Giant secara mengejutkan menutup seluruh gerainya di Indonesia. Anak perusahaan PT Hero Supermarket Tbk tersebut hanya menutup sebagian gerainya pada awal 2021, namun pada akhirnya menutup total.
Selain Giant, Matahari Department Store juga sempat menutup 25 gerai saat awal pandemi Covid-19 pada 2020. Namun demikian, Matahari mulai kembali membuka ritelnya setelah pandemi mereda pada 2022.
Terakhir, gerai ritel Transmart tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial karena sepi pengunjung. Katadata.co.id pun memantau langsung sejumlah gerai Transmart di Jakarta dan Depok pada Rabu (25/1).
Gerai Transmart tersebut nampak sepi, bahkan ada yang sudah tutup permanen. Salah satu gerai yang tutup permanen adalah Transmart cabang ITC Kuningan sejak 31 Oktober 2022.
Katadata.co.id juga memantau gerai Transmart di dalam Blok M Square, Jakarta Selatan. Berdasarkan pantauan, gerai Transmart tersebut masih beroperasi, namun sepi pengunjung. Terpantau hanya dua orang pengunjung yang mendatangi tempat tersebut pada Rabu (25/1) pukul 11.30 WIB.
Gerai Transmart yang sepi lainnya ada di Jalan Dewi Sartika dan Pesona Square di Jalan Ir. Juanda, Kota Depok. Transmart di Jalan Dewi Sartika minim pengunjung sejak aksesnya terganggu pembangunan underpass sepanjang 470 meter.
Katadata.co.id juga telah berupaya mengonfirmasi kepada Vice President Corporate Communications Transmart Satria Hamid mengenai gerai Transmart yang sepi tersebut. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada respons dari manajemen Transmart.
Apa yang Terjadi?
Pakar Pemasaran dan Perilaku Konsumen dari Universitas Indonesia, Sri Rahayu Hijrah Hati, mengatakan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan gerai ritel tutup. Faktor tersebut di antaranya adalah ekspansi berlebihan, pandemi, pertumbuhan ekonomi, demografi dan perubahan perlaku konsumen.
Sri Rahayu mengatakan, penutupan toko luar jaringan atau luring dipicu oleh pandemi Covid-19. Saat itu, terjadi perubahan perilaku konsumen karena masyarakat menjaga jarak dan membatasi kegiatan di luar rumah. Banyak masyarakat yang beralih dari belanja luring ke daring atau dalam jaringan.
"Masyarakat sudah mulai merasa nyaman dengan melakukan belanja online sehingga pertumbuhan ritel offline agak sedikit menurun, namun secara umum nilainya sangat besar," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (26/1).
Dia mengatakan, data Statista menunjukkan e-commerce di Indonesia tumbuh sebesar 37,4% pada 2020 atau saat awal pandemi. Pertumbuhan itu melambat namun masih tinggi di 2021 yaitu sebesar 29%, sementara 2022 sebesar 22%.
"Tahun lalu agak sedikit melambat karena penetrasi tahun 2020 sudah sangat luar biasa," ujarnya.
Sri Rahayu mengatakan, harga barang di marketplace juga jauh lebih murah dibandingkan ritel luring. Namun demikian, hal itu perlu dipahami karena biaya atau pengeluaran toko luring jauh lebih tinggi.
"Toko offline perlu membayar biaya gedung, listrik, karyawan, dan sebagainya," ujarnya.
Selain itu, belanja daring juga relatif lebih mudah karena konsumen dapat memilih varian produk yang jauh lebih banyak dengan harga dan bahkan diskon beraneka ragam.
Namun demikian, belanja luring memiliki keunggulan dari sisi kepercayaan dan kualitas produk. "Masyarakat masih lebih senang jika melakukan pembelanjaan secara offline karena masih banyak produk atau seller pada marketplace online melakukan penipuan pada konsumen atau menjual produk yang tidak sesuai gambar," ujarnya.
Menurut data Euromonitor, pada tahun 2021 ada sebanyak 1.696 gerai ritel hipermarket dan supermarket di Indonesia. Pada 2021, perusahaan ritel kategori hipermarket dan supermarket di Indonesia yang memiliki gerai terbanyak adalah Super Indo, yakni 180 gerai.
Hypermart berada di posisi kedua dengan 100 gerai, diikuti Carrefour 70 gerai, Transmart-Carrefour 60 gerai, Lotte Mart 45 gerai, dan Farmer's Market 35 gerai.