Ada Insentif Gas Murah, Industri Pupuk Ungkap Penyebab Harga Mahal

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/wsj.
Pekerja menata pupuk urea di gudang distributor pupuk Indonesia di Lopang, Serang, Banten, Jumat (8/5/2020).
Penulis: Happy Fajrian
3/2/2023, 19.30 WIB

Pelaku usaha di industri pupuk membantah anggapan insentif harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per juta British thermal unit (mmBtu) gagal meningkatkan produktivitas dan daya saing. Anggapan tersebut dilontarkan Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Komisi VII DPR.

Direktur Portfolio & Pengembangan Usaha PT Pupuk Indonesia (Persero) Jamsaton Nababan mengatakan bahwa ketika insentif harga gas murah ini berlaku pada 2020, produksi naik sekitar 600 ribu ton dalam dua tahun atau 300 ribu ton per tahun.

"Sebelum dapat insentif gas murah, produksi kami 18,91 juta ton pada 2019. Setelah insentif, produksi naik sekitar 600 ribu ton pada 2021 menjadi 19,51 juta ton. Itu hasil dari efisiensi yang kami lakukan di pabrik eksisting," kata Jamsaton kepada Katadata.co.id, Jumat (3/2).

Dia menjelaskan efisiensi ini dilakukan dengan mengganti pabrik tua yang sudah tidak efisien atau boros dalam konsumsi gas, namun tidak menambah kapasitas produksinya. Sehingga dengan volume konsumsi gas yang sama pabrik dapat memproduksi pupuk lebih banyak.

Menanggapi tudingan pupuk yang langka, Jamsaton mengatakan bahwa selama ini supply dan demand pupuk memang tidak berimbang apalagi kebutuhan pupuk dari tahun ke tahun terus meningkat sedangkan untuk menambah kapasitas produksi dengan membangun pabrik baru membutuhkan waktu.

"Membangun satu pabrik pupuk membutuhkan waktu 4 tahun. sedangkan kebijakan HGBT baru mulai 2020. Jadi kalau kami membangun pabrik 2020 baru akan selesai 2024-2025 untuk menambah kapasitas," ujarnya.

Dia menyebut Pupuk Indonesia tidak tinggal diam dan sudah memiliki sejumlah rencana pembangunan pabrik baru yang akan menambah kapasitas produksi pupuk sekitar 3 juta ton pada 2030. Ini termasuk proyek pabrik pupuk Pusri 3B dengan kapasitas produksi pupuk urea 907.500 ton per tahun.

Pabrik ini akan menjadi pengganti pabrik Pusri 3 dan 4 yang umur teknisnya sudah tidak efisien lagi. Adapun saat ini proyek Pusri 3B masih dalam tahap evaluasi biding dokumen peserta tender yang diharapkan tender dapat selesai pada pertengahan tahun ini.

"Selanjutnya kawasan industri pupuk di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan kapasitas produksi pupuk urea sebesar 1,15 juta ton. Proyek ini merupakan proyek grass root yang akan membantu meningkatkan perekonomian di Papua," ujarnya.

Sementara itu terkait harga pupuk yang tinggi, Jamsaton menyebut bahwa ini merupakan dampak dari perang Rusia-Ukraina yang mengganggu pasokan bahan baku. Dia berharap setelah perang selesai, pasokan bahan baku untuk pupuk dapat kembali normal.

"Harga mahal itu hanya setelah perang Rusia-Ukraina, karena bahan bakunya semua dari negara-negara di sekitar Rusia, seperti Belarusia. Gara-gara perang ini semua bahan baku diembargo seperti fosfat dan potasium. Jadi tidak hanya masalah harga, tapi bahan bakunya tidak ada di pasar," ujarnya.

Namun dia berterima kasih kepada pemerintah atas insentif harga gas murah untuk industri. Sebab di tengah kapasitas produksi yang terbatas, lalu gangguan bahan baku imbas perang Rusia-Ukraina, insentif gas murah dapat menjaga tingkat produksi.

"Produksi 2022 relatif sama dengan tingkat produksi 2021. Dampak perang masih terasa sampai sekarang. Kami masih kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. Pangsa pasar Pupuk Indonesia sekitar 60% jadi kami terus melakukan pengembangan-pengembangan pabrik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujarnya.

Senada, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Achmad Tossin Sutawikara, tidak sepakat jika insentif gas murah disebut gagal meningkatkan produktivitas. Sebab tingkat produksi pupuk nasional konsisten naik selama lima tahun terakhir.

Capaian positif itu diklaim terus berjalan meski sejumlah industri manufaktur mengalami kemunduran di dua tahun belakangan imbas Pandemi Covid-19. "Produksi kami naik sejak 2017 sampai sekarang, peningkatannya cukup signifikan, ketika dibilang tidak efektif itu dari mananya," kata Tossin.

Tossin menambahkan, implementasi HBGT pada industri pupuk berdampak positif pada capaian pembuatan pupuk di lima anggota APPI. Diantaranya Pupuk Kaltim, Petrokimia Gresik, Pupuk Kujang, Pupuk Iskandar Muda dan Pupuk Sriwidjaja. "Produksi pupuk sekira 13 juta ton, yang pupuk subsidi sekira 9 juta ton," ujarnya.

Lebih lanjut, kata Tossin, penyaluran gas murah ke industri pupuk sejak 2020 relatif berjalan lancar meski sesejali mengalami penurunan tekanan gas secara tiba-tiba di waktu tertentu. Meski demikian, hal tersebut tak berdampak signifikan pada torehan produksi pupuk.

"Misal ke Petrokimia tekanan gasnya turun tapi kemudian normal kembali, Ini normal. Artinya, HGBT sangat membantu capaian produksi," kata Tossin.

Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR Lamhot Sinaga mengatakan bahwa pelaksanaan insentif HBGT belum bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri. Industri tersebut yaitu industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.

Dia mengatakan, tingkat produksi pupuk sejak pemberlakuan HGBT pada 2020 tak memberi dampak siginifikan dari hasil produksi pupuk sebelum pelaksanaan HGBT.

"Kapasitas produksi pupuk tidak ada kenaikan dengan harga US$ 6. Tetap 15 juta ton dengan rincian subsisi 9 juta ton dan non subisdi 6 juta ton, sama saja," kata Lamhot saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian ESDM pada Kamis (2/2).

Dia juga menduga bahwa insentif HGBT hanya dirasakan oleh para pelaku usaha. Kata Lamhot, harga pupuk di pasaran masih tinggi sehingga memberatkan para petani. "Di dapil saya Sumatera Utara warga menjerit soal pupuk ini. Rakyat tidak terbantu, apakah hanya korporasi yang diuntungkan," ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengakui belum ada peningkatan produksi yang signifikan dari tujuh industri yang memperoleh insentif harga gas. Kementerian ESDM dalam waktu dekat juga bakal menagih laporan konsumsi gas murah dan capaian produksi komoditas dari masing-masing tujuh industri penerima HGBT.

"Untuk itulah kami ingin tanyakan juga realisasinya. Gasnya ini udah disuplai, disediakan harganya, tapi kenapa kok gak naik-naik produksinya," kata Arifin.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu, Happy Fajrian