Program Bantuan Langsung Tunai atau BLT minyak goreng dinilai lebih baik dibandingkan program Minyakita. Pasalnya, pemerintah menetapkan Minyakita harus dijual sesuai Harga Eceran Tetap atau HET yang nilainya lebih rendah dari biaya produksi.
Hal itu disampaikan Ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison, saat menjadi saksi ahli dalam sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU di Jakarta, Senin (7/2). Sebagai informasi, HET Minyakita adalah Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg.
Dia mengatakan, HET tersebut di bawah harga produksi minyak sawit saat ini. Pemerintah sebaiknya menetapkan HET di atas biaya produksi. Dengan demikian, produsen tidak merugi saat harus memproduksi Minyakita.
"Ibaratnya orang sudah jual pecel lele Rp 25.000 terus tiba-tiba pemda menyatakan harus jual Rp 20.000. Kira-kira gimana, jualan atau tidak? Jual rugi," ujarnya.
Vid mengatakan, pemerintah sebaiknya menyiapkan kompensasi jika ingin menetapkan harga Minyakita sesuai HET. Namun sayangnya, pemerintah tidak memberikan kompensasi tersebut sehingga produsen rugi dan enggan memproduksi Minyakita.
Menurut Vid, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng murni disebabkan kebijakan pemerintah mengintervensi pasar dengan mengeluarkan peraturan yang berubah-ubah. Hal ini dinilai tidak efektif dan menimbulkan ketidakpastian.
“Saya lebih setuju kalau kebijakan yang diambil adalah cash transfer melalui pemberian BLT ke masyarakat, bukan dengan menetapkan HET. Dengan begitu, produsen tetap berproduksi tanpa merugi sehingga pasokan terjaga. Sementara masyarakat tetap mampu membeli walaupun ada kenaikan harga,” jelasnya.
Oleh sebab itu, menurut Vid, program BLT minyak goreng lebih baik untuk menjaga daya beli masyarakat. Selain tidak merugikan produsen, BLT minyak goreng juga lebih tepat sasaran.
Pasokan DMO Kurang
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan, mengataan jika kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng rakyat saat ini salah satunya disebabkan oleh berkurangnya pasokan Domestic Market Obligation atau DMO terutama dari pasokan minyak kita. Luhut telah melaksanakanrapat koordinasi dengan Menteri Perdagangan Mendag Zulkifli Hasan pada Senin (6/2) untuk membahas hal tersebut.
“Saya mohon kepada Kemendag untuk memastikan peningkatan pasokan DMO oleh produsen minyak goreng sebanyak 50% hingga Lebaran nanti bulan. Alokasi per perusahaan ditentukan berdasarkan rata-rata kinerja ekspor perusahaan selama Oktober-Desember 2022 secara proporsional dan kepatuhan masing-masing perusahaan terhadap pemenuhan DMO,” ungkap Menko Luhut.
Sementara itu, Lebih lanjut, Ia meminta agar Kemendag, Kemenperin, dan Indonesia National Single Window atau INSW untuk mendepositokan 66% hak ekspor yang dimiliki eksportir saat ini dan tidak dapat langsung digunakan. Pencairan deposito akan dilakukan secara bertahap sejak 1 Mei dan diberikan melihat kepatuhan perusahaan dalam memenuhi kewajiban DMO.
Luhut menjabarkan akan diberikan ruang pencairan deposito lebih cepat bagi perusahaan yang harus memenuhi kontrak yang sudah ada. Namun demikian, hak ekspor yang dimiliki tidak mencukupi meski telah memenuhi tambahan DMO.
Di samping itu, Menko Luhut menegaskan kepada seluruh instansi yang terkait seperti Satgas Pangan, Kemendag, Kemenperin untuk melakukan pengawasan yang ketat berbasiskan data SIMIRAH atau Sistem Informasi Minyak Goreng Curah dan hasil temuan di lapangan terhadap pelaksanaan distribusi terutama masa menjelang Ramadan dan Lebaran.
“Saya minta segala bentuk pelanggaran dapat ditindak tegas. Kemendag mohon untuk meningkatkan insentif pengali minyak kita menjadi 1,5 dan 1,75 untuk kemasan bantal dan botol untuk menjaga gap dengan minyak curah tetap menarik," ujarnya.
Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. USDA memproyeksikan produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023, dan produksi CPO Malaysia 18,8 juta MT.