Berkaca dari Meikarta dan Indosurya, Mengapa PKPU Rugikan Konsumen?

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.
Tersangka yang merupakan Direktur Keuangan KSP Indosurya Cipta June Indria (kiri) dihadirkan saat rilis pengungkapan penipuan dan penggelapan dana Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (1/3/2022).
17/2/2023, 19.14 WIB

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU kerap menjadi solusi saat perusahaan terbelit dalam masalah utang. Namun demikian, banyak kasus PKPU yang pada ujungnya malah merugikan konsumen.

Proses PKPU diatur dalam Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pada pasal 222 ayat (2) disebutkan bahwa "debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang".

Namun dalam prakteknya konsumen kerap terjebak dan dirugikan dalam proses PKPU. Misalnya saja kasus Apartemen Meikarta dan Koperasi Simpan Pinjam Indosurya.

Pada kasus apartemen Meikarta, konsumen tidak dapat segera mendapatkan serah terima unit apartemen meskipun akad sudah dilakukan sejak 2017. PT Mahkota Sentosa Utama atau MSU selaku pengembang beralasan bahwa perusahaan mengikuti keputusan PKPU di mana perusahaan diberi waktu untuk menyerahkan apartemen hingga 2027.

Ketua Komunitas Peduli Konsumen Meikarta, Aep Mulyana, mengatakan bahwa mereka tidak pernah diberikan kabar mengenai voting PKPU. "Pengembang beralasan sudah mengumumkan di surat kabar, tapi jaman sekarang siapa sih yang baca koran?" ujarnya ketika dihubung Katadata.co.id pada 14 Desember 2022.

Hal serupa dialami oleh nasabah Koperasi Simpan Pinjam Indosurya yang pencairan dananya terhambat karena putusan PKPU. Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan dalam putusan PKPU tidak ada dalil yang mengatur sanksi dalam hal kewajiban pembayaran yang dilaksanakan sesuai dengan perjanjian perdamaian.

"Itu lemah sekali," kata Teten saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR, Selasa (14/2)

Benarkah PKPU Rugikan Konsumen?

Pakar PKPU dan Kepailitan dari Universitas Indonesia, Teddy Anggoro, mengatakan putusan PKPU bisa digugat jika dalam perjalanannya terdapat poin yang tidak sesuai. Jika kalah gugatan, maka perusahaan bisa dinyatakan pailit.

"Namun hal ini juga berisiko bagi konsumen atau nasabah. Karena jika pailit, yang didahulukan adalah kewajiban pada negara seperti pajak dan juga hak pekerja," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (17/2).

Menurut Teddy, ada sejumlah faktor yang menyebabkan putusan PKPU bisa merugikan konsumen. Faktor tersebut di antaranya:

1. Minimnya edukasi hukum pada konsumen

Menurut Teddy, putusan PKPU seharusnya tidak merugikan karena bertujuan untuk memberikan kepastian pada kreditur mengenai pengembalian dana oleh debitur. Dalam kasus Meikarta dan Indosurya, kreditur merupakan konsumen. Sementara pengembang PT MSu dan KSP Indosurya merupakan debitur.

"Dalam pembahasan PKPU itu akan dihasilkan perdamaian. Jadi hasil perdamaiannya yang merugikan konsumen, bukan putusan PKPU," ujarnya.

Teddy mengatakan, konsumen yang tidak mengerti hukum gampang diiming-imingi ketika membahas perdamaian. Konsumen akhirnya menyetujui PKPU tersebut.

"Begitu dalam perjalanan mereka baru sadar ternyata performance ko gak bagus. Lalu mereka berpikir bagaimana caranya memperjuangkan haknya," ujarnya.

2. Seting voting PKPU

Teddy mengatakan, praktik voting PKPU kerap dilakukan perusahaan yang mengajukan PKPU. Dalam UU no,37 tahun 2004 diatur bahwa PKPU dikabulkan jika voting telah memenuhi 2/3 dari jumlah utang debitur.

Dengan demikian, sepertiga kreditur harus tunduk dalam peraturan PKPU meskipun tidak menyetujui perjanjian damai tersebut.

Dalam kasus Meikarta dan Indosurya, nominal uang nasabah atau konsumen relatif lebih kecil dibandingkan kreditur lainnya. Kreditur tersebut misalnya bank sebagai peminjam dana, suplier dan lain sebagainya. Akibatnya, suara konsumen atau nasabah relatif lemah dan terpaksa harus mengikuti PKPU.

3. Akses informasi

Teddy mengatakan, seharusnya debitur wajib mengundang semua kreditur, termasuk konsumen dan nasabah, untuk mengikuti voting PKPU. Namun demikian, ada sejumlah kasus yang menyebabkan debitur kesulitan untuk memberikan undangan pada konsumen.

"Misalnya aja alamat konsumen yang pindah. Ini yang menyebabkan ada aturan PKPU yang meminta debitur untuk memasang iklan di koran," kata Teddy.

Namun demikian, pada prakteknya banyak debitur yang menjadikan pengumuman di koran ini sebagai alasan untuk memberitahukan proses PKPU. Padahal saat ini, sudah sedikit masyarakat yang membaca surat kabar. Alhasil para kreditur pun tidak mendapatkan informasi tersebut.

"Oleh sebab itu dalam revisi aturan PKPU saya usulkan agar ada portal khusus untuk pemberitahuan PKPU. Namun hingga kini belum diimplementasikan," ujarnya.

 Jumlah permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU mengalami peningkatan selama pandemi virus corona Covid-19. Ini sebagaimana terlihat dari data statistik perkara yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, dan PN Semarang.