Pemerintah Indonesia dinilai tidak perlu gegabang melakukan boikot komoditas seperti kelapa sawit guna merespons kebijakan terbaru Uni Eropa terkait deforestasi dan degradasi hutan.
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan restriksi dagang termasuk yang terkait dengan isu lingkungan memang sedang tren. Ini misalnya kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa yang mewajibkan komoditas yang masuk wilayahnya harus memiliki sertifikasi bebas dari deforestasi sejak 2020. Selain itu, ada juga kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang juga berpotensi menghambat arus eskpor komoditas Indonesia.
“Sebaiknya jangan pakai boikot. Itu justru merugikan kita,” ujarnya, Senin (20/3).
Yose mengatakan aksi boikot justru akan membuat Uni Eropa mencari alternatif produk pengganti. Selain itu, ekspor kelapa sawit yang menjadi salah satu komoditas terdampak ke Uni Eropa tidak terlalu signifikan. Sebagai gambaran, volume ekspor CPO ke UE pada 2022 mencapai 2,05 juta ton atau sekitar 5,8% dari total ekspor CPO Indonesia sebanyak 34,67 juta ton.
Yose menyebut Indonesia bisa saja kembali melayangkan gugatan ke World Trade Organization (WTO) jika tidak puas dengan kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa. Namun, menurutnya langkah paling penting adalah dengan menedorong persoalan hambatan dagang terkait isu lingkungan ini menjadi perdagangan multilateral.
Menurut Yose, saat ini sejumlah negara memang banyak negara mengeluarkan hambatan dagang terkait dengan isu lingkungan. Namun menurutnya, hal tersebut justru belum diatur dalam kesepakatan perdagangan internasional di WTO.
Sebelumnya, Menteri Bidang Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto telah bertemu dengan dan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Dato’ Sri Haji Fadilah pada awal Februari silam. Keduanya membahas upaya pendekatan ke UE untuk mencari jalan tengah terkait aturan anti-deforestasi.
Airlangga mengatakan, Indonesia dan Malaysia sepakat akan membujuk dan mengkomunikasikan ke UE agar mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan. Airlangga mengatakan, pertemuan tersebut sama sekali tidak membahas aksi pemblokiran atau setop ekspor sawit ke Uni Eropa.
"Setop ekspor bukanah hal yang dibahas," ujarnya.
Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket menegaskan peraturan tentang deforestasi dan degradasi hutan ini berlaku untuk semua komoditas yang masuk ke wilayahnya tanpa terkecuali. Adapun komoditas yang jadi prioritas antara lain; kedelai, minyak sawit, kayu, daging sapi, kakao, karet, kopi, dan beberapa produk turunan seperti kulit, cokelat, dan furnitur.
“Tidak ada diskriminasi dalam regulasi ini. Aturan juga berlaku untuk komoditas yang diproduksi di wilayah Uni Eropa,” ujarnya.
Piket mengatakan komoditas yang diproduksi di wilayah Uni Eropa dan yang diimpor akan diwajibkan memenuhi sertifikasi uji tuntas anti deforestasi mulai 31 Desember 2020. Adapun jika deforestasi terjadi dalam waktu sebelumnya, maka tidak perlu melampirkan sertifikasi uji tuntas.