Pemerintah tidak boleh melalaikan kewajiban pembayaran utang minyak goreng kepada pengusaha ritel dengan alasan apapun. Pelaku ritel dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN agar mewajibkan negara membayar utangnya.
Hal itu dikatakan Pakar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Dian Puji Nugraha Simatupang, menganggapi kisruh utang minyak goreng saat ini. Utang tersebut merupakan selisih pembayaran yang dijanjikan Kemendag atas kebijakan minyak goreng satu harga pada 19-31 Januari 2022.
Kebijakan tersebut membuat pengusaha ritel yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo menalangi dana hingga Rp 344 miliar yang dijanjikan akan diganti pemerintah sesuai Permendag Nomor 3 Tahun 2022. Namun demikian, Kemendag enggan menyetujui pembayaran utang tersebut dengan alasan aturan tersebut telah dicabut sehingga mereka tidak memiliki payung hukum.
Dia mengatakan, pemerintah perlu memiliki dasar hukum dalam mengalokasikan anggaran.
"Jika utang didasarkan pada ketentuan terdahulu dan telah dilakukan secara sah, negara dan pemerintah tidak boleh melalaikan kewajiban pembayaran, dengan alasan apapun," ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (8/5).
Dia mengatakan, pembayaran tersebut dapat menggunakan UU APBN dengan alasan utang dilakukan dahulu telah sah. Undang-undang APBN dapat menjadi dasar hukum pembayaran utang tersebut setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan DPR sbg pemegang hak budget.
Selain itu, Dian mengatakan, presiden dapat mengadakan sidang kabinet untuk menetapkan kebijakan dalam menangani masalah tersebut. Hasil sidang kabinet dapat menjadi dasar untuk merumuskan dasar hukum pembayaran utang minyak goreng.
"Di dalam sidang kabinet ada Menkeu, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BPKP, nanti atas dasar hasil keputusan sidang kabinet ditetapkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden dalam rangka pembayaran ini. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2014," ujarnya.
Peritel Dapat Gugat ke PTUN
Jika pemerintah masih abai, Dian mengatakan, pengusaha dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PTUN agar mewajibkan negara membayar utangnya. Dengan demikian, putusan PTUN menjadi dasar pembayaran.
Naun demikian, lagkah ini memiliki kekurangan karena membutuhkan wkatu yan lama sehingga bisa berkekuatan hukum tetap.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan utang tersebut harus tetap dibayarkan meski Permendagnya sudah dicabut. Pasalnya, Kemendag sudah melakukan perjanjian bersama para pelaku usaha ritel.
"Utang memang harus tetap dibayar, hanya persoalannya dalam kasus ini Permendag inikan harus dilihat apakah satu data yang disampaikan oleh Aprindo itu benar, yang kedua harus ada bukti bahwa kebijakan itu memang ada ikatan atau terikat dengan para peritel," kata Trubus.
Latar Belakang Utang Minyak Goreng
Utang minyak goreng tersebut merupakan selisih pembayaran yang dijanjikan Kemendag atas kebijakan minyak goreng satu harga pada 19-31 Januari 2022. Kebijakan tersebut ditetapkan karena harga minyak goreng yang tinggi dan jauh di atas Harga Eceran Tetap atau HET.
Kebijakan minyak goreng satu harga diatur dalam Permendag 3/2022 tentang minyak goreng satu harga pada kemasan premium, sederhana, dan curah sebesar Rp 14.000 per liter. Namun, Permendag Nomor 3 Tahun 2022 itu telah dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Penggantian aturan tersebut kemudian dijadikan alasan bagi pemerintah menunggak utang minyak goreng. Pemerintah mengatakan, mereka tidak memiliki payung hukum untuk membayar utang tersebut.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan Kemendag masih menunggu hasil pendapat hukum dari Kejaksaan Agung atau Kejagung mengenai permasalahan pembayaran rafaksi minyak goreng. Kemendag perlu melakukan konsultasi hukum mengenai pembayaran selisih harga tersebut.
Dia mengatakan, Kementerian Perdagangan pasti akan memproses pembayaran utang migor Rp 344,3 miliar itu. Namun pihaknya menerapkan prinsip kehati-hatian. Sehingga, sampai saat ini Kemendag belum mau membayar utang tersebut.
"Jadi memang prinsipnya kehati-hatian. Kami pasti akan proses, tapi masih menunggu hasil hukum dari Kejagung, karena belum ada hasilnya," ujar Zulhas.
Ketua Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, pemerintah sebelumnya berjanji untuk mengganti selisih harga antara minyak goreng yang dibeli peritel dengan HET sebesar Rp 14.000 per liter. Selisih yang akan diberikan kepada pelaku usaha ritel tersebut akan dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS.
Namun, realitanya hingga saat ini pemerintah belum membayarkan hutangnya. Padahal pelaku ritel sudah menanggung selisih harga tersebut sebesar Rp 344,3 miliar.
"Sudah satu tahun lebih pembayaran rafaksi minyak goreng ini belum diselesaikan," ujarnya.
Dalam kurun waktu lebih dari satu tahun terakhir itu, Aprindo sudah melakukan audiensi secara formal maupun informal kepada Kementerian Perdagangan, BPDPKS, Kantor Sekretariat Presiden, hingga Wakil Rakyat pada saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR RI.
Aprindo merasa geram karena tidak mendapatkan jawaban yang pasti atas janji pemerintah untuk membayar utang tersebut. Hingga akhirnya Aprindo melakukan pertemuan dengan Kemendag pada Kamis (4/ 5). Namun, pada pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil karena Kemendag belum memutuskan tenggat waktu untuk melunasi utang Rp 344 miliar itu.