Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai Uni Eropa menghambat perdagangan sejumlah komoditas unggulan Indonesia ke kawasan tersebut dalam beberapa tahun ke depan. Menurut dia, hambatan tersebut tertuang dalam beberapa peraturan dagang yang akan berlaku pada 2024-2030.
Peraturan yang dimaksud Airlangga secara umum adalah soal lingkungan, seperti Carbon Border Adjusted Mechanism atau CBAM, Renewable Energy Directive atau RED, dan Deforestation Regulation atau EUDR.
Airlangga berpendapat tiga peraturan tersebut akan menghambat perdagangan sejumlah komoditas unggulan Indonesia ke Eropa, yakni Minyak Sawit Mentah atau CPO , baja, kopi, kakao, furnitur, dan komoditas berbasis metan seperti sapi. Artinya, komoditas yang diperdagangkan antara Indonesia dan Uni Eropa senilai Rp 90 triliun akan terdampak.
"Jadi, ini sebetulnya masalah lingkungan atau masalah kompetisi yang tidak bersaing? Mereka pasang pagar-pagar untuk perdagangan," kata Airlangga di Istana Kepresidenan, Senin (5/6).
Sebagai contoh, Airlangga menilai kebijakan RED dan EUDR akan menghambat perdagangan CPO di Eropa. Pasalnya, RED menetapkan seluruh negara anggota EU dilarang mengimpor CPO untuk biodiesel pada 2030. Sementara RED mengharuskan CPO yang masuk Eropa untuk lolos sejumlah verifikasi.
Kebijakan UE Dinilai Diskriminatif
Airlangga mencatat RED dan EUDR akan berlaku pada akhir 2024 atau 18 bulan ke depan. Menurutnya, kebijakan tersebut akan membahayakan petani kelapa sawit di dalam negeri maupun di Malaysia.
Beleid tersebut sejauh ini hanya mengatakan bahwa seluruh produk hasil hutan harus melalui proses verifikasi dan penandaan geografis. Namun demikian, Airlangga menilai kebijakan tersebut tidak memiliki standar yang jelas.
Pasalnya, menurut dia, EUDR tidak mengakui standar yang telah diterapkan oleh pemerintah Indonesia, seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu untuk furnitur maupun Indonesian Sustainable Palm Oil untuk CPO.
Selain itu, Airlangga menyampaikan EUDR tidak mengakui sertifikasi CPO lain, seperti Malaysia Sustainable Palm Oil maupun Roundtable Sustainable Palm Oil. Oleh karena itu, Airlangga menilai penerapan UEDR dapat menimbulkan gejolak perdagangan antara Indonesia dan Eropa.
Oleh karena itu, Airlangga menyatakan kebijakan EUDR bersifat diskriminatif dan punitif terhadap Indonesia dan Malaysia. Menurutnya, penerapan EUDR dapat berdampak pada 15 juta petani sawit di Indonesia dan 700.000 petani sawit di Malaysia.
Airlangga menganggap kebijakan tersebut berlebihan lantaran Indonesia dan Negeri Jiran telah patuh kepada beberapa aturan lembaga internasional, seperti Organisasi Tenga Kerja Internasional, Organisasi Dagang Dunia, Persatuan Bangsa-Bangsa, dan Kerangka Konvensi Perubahan Iklim PBB.
Di samping itu, Airlangga mengatakan penerapan EUDR dapat menghambat capaian target pembangunan berkelanjutan atau SDG Indonesia dan Malaysia.
Airlangga mengaku telah menyampaikan kekhawatiran pemerintah terkait penerapan EUDR ke Wakil Presiden Uni Eropa. Secara singkat, pemerintah Indonesia bermasalah terkait standar dan kepatuhan EUDR.
"Kalau mereka mengadopsi misalnya SVLK dari sektor kayu, itu selesai. Kalau mereka bilang CPO bisa pakai sertifikasi RSPO, ISPO, atau MSPO untuk masuk Eropa, selesai," kata AIrlangga.
Di sisi lain, Airlangga menyatakan kebijakan CBAM dapat mengancam perdagangan mineral kritis ke Eropa, khususnya baja dan nikel. Secara sederhana, aturan tersebut mengijinkan negara anggota EU untuk mengenakan pajak karbon kepada barang yang diimpor dari negara yang belum memberlakukan pajak karbon.
CBAM dijadwalkan mulai berlaku pada 2026 dan berlaku bahkan setelah mineral tersebut telah menjadi produk jadi. Airlangga berpendapat CBAM akan merepotkan industri pengolah mineral nasional untuk bersaing di Pasar Eropa.
"Indonesia punya dua komoditas andalan ekspor, pertama kelapa sawit dan kedua baja. Ini keduanya kita dihantam," kata Airlangga.