Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat ada empat perusahaan yang telah mengembangkan pabrik pengolahan mineral atau smelter nikel berteknologi hidrometalurgi High Pressure Acid Leach Leaching (HPAL) dengan kapasitas produksi 1.035.000 ton mixed hydroxide precipitate (MHP) per tahun.
Komoditas antara itu merupakan bahan baku produk lanjutan prekursor, katoda, hingga baterai kendaraan listrik. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika, Taufik Bawazier mengatakan kebutuhan nikel kadar rendah untuk bahan baku baterai kendaraan listrik akan naik berkala tiap tahun.
Kemenperin memproyeksikan kebutuhan bijih nikel limonite kadar rendah 0,8-1,5% pada 2025 mencapai 25.133 ton. Kebutuhan tersebut naik menjadi 37.699 ton pada 2030 dan 59,506 ton pada 2035.
“Ini bisa dimanfaatkan paling tidak setelah pabrik baterai di dalam negeri cukup kuat sehingga bisa memasok bahan baku nasional ke dalam ekosistem kendaraan listrik dalam negeri,” kata Taufik dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Kamis (8/6).
Adapun empat perusahaan yang telah mengembangkan smelter HPAL adalah PT Huayue Nickel Cobalt berkapasitas 400.000 ton per tahun MHP dan PT QMB New Energy Material dengan output MHP 150.000 ton per tahun, dan PT Halmahera Persada Lygend dengan produksi MHP 365.000 ton per tahun
Ketiga smelter tersebut saat ini telah beroperasi dengan kapasitas produksi total 965.ooo ton per tahun. Ada pula smelter yang dikembangkan PT Kolaka Nickel Indonesia dengan kapasitas produksi MHP 120.000 ton per tahun yang masih dalam tahap feasibility study.
Berdasarkan hitungan Kemenperin, daya baterai yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik roda dua sekitar 1,44 kilowatt hour (kWh), sementara daya listrik untuk mobil listrik berkisar 60 KWh.
Adapun masing-masing KwH dibutuhkan nikel sekitar 0,7 kilogram (kg), Mangan 0,096 kg, dan Kobalt 0,096 kg. “Semua bahan baku ada di Indonesia sekitar 93%, di mana 7% lithium perlu impor,” ujar Taufik.
Adapun ekspor produk olahan bijih nikel masih didominasi oleh feronikel sebanyak 5,7 juta ton dengan nilai US$ 13 miliar pada 2022. Adapun ekspor produk hilir baja tahan karat HRC senilai US$ 4 miliar. “Artinya ekspor nikel dari Indonesia didominasi oleh produk yang belum sampai ke tingkat yang lebih hilir,” kata Taufik.