Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mempersilahkan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo jika ingin melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, terkait permasalahan utang rafaksi minyak goreng. Saat ini, Kementerian Perdagangan atau Kemendag masih menunggu hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP.
"Kalau mau ke jalur hukum ya haknya. Boleh saja. Enggak apa-apa," kata pria yang disapa Zulhas itu kepada awak media di Kantornya, Jakarta, Kamis (15/6).
Zulhas mengatakan, Kemendag berniat untuk membayar utang rafaksi minyak goreng tersebut. Namun demikian, Kemendag masih menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP.
Menurut dia, audit BPKP perlu dilakukan karena adanya selisih nilai dari klaim yang diajukan oleh Aprindo dengan hasil verifikasi yang ditunjukan oleh Sucofindo.
Hasil verifikasi dari Sucofindo menunjukkan bahwa utang minyak goreng yang harus dibayar pemerintah hanya Rp 472 miliar. Dengan begitu, angka hasil verifikasi Sucofindo hanya sekitar setengah dari tagihan yang diklaim pengusaha ritel sebesar Rp 812 miliar.
"Selisihnya berbeda-beda (setiap perusahaan), ada Rp 800 juta, Rp 600 juta, Rp 400 juta. Maka kita minta diaudit oleh yang akan mengaudit BPDPKS yaitu BPKP," ujar Zulhas.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Isy Karim, mengatakan Kemendag telah menyerahkan semua dokumen-dokumen terkait rafaksi minyak goreng kepada BPKP untuk bisa diaudit.
"Ya kita tunggu prosesnya dong. Nah hasil kajian dari BPKP nanti kita tunggu," kata Isy.
Dia mengatakan, Kemendag tidak keberatan jika Aprindo ingin melakukan gugatan ke jalur hukum. Kemendag akan membayar utang kepada produsen minyak goreng dan pelaku usaha ritel modern sesuai dengan hasil audit dari BPKP.
Sebelumnya, Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, pihaknya akan menggugat Kemendag ke Pengadilan Tata Usaha Negara jika utang tak kunjung dilunasi.
"Kami berharap dalam 2-3 bulan ini harus selesai, utangnya dibayar sampai lunas. Kami akan gerakkan segala opsi, termasuk opsi hukum," ujar Roy saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Kamis (4/ 5).
Utang tersebut merupakan selisih pembayaran yang dijanjikan Kemendag atas kebijakan minyak goreng satu harga pada 19-31 Januari 2022. Kebijakan tersebut ditetapkan karena harga minyak goreng yang tinggi dan jauh di atas Harga Eceran Tetap atau HET.
Kebijakan minyak goreng satu harga diatur dalam Permendag 3/2022 tentang minyak goreng satu harga pada kemasan premium, sederhana, dan curah sebesar Rp 14.000 per liter.
Namun, Permendag Nomor 3 Tahun 2022 itu telah dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Oleh sebab itu, pemerintah belum membayar utang tersebut dengan alasan tidak ada payung hukum.