Nilai ekspor cina anjlok 12,4 persen secara year on year pada Juni 2023. Ini merupakan pelemahan ekspor terbesar setelah Pandemi Covid-19 atau Februari 2020.
Ekspor Cina mengalami kontraksi lebih dalam setelah sebelumnya turun 7,5% pada Mei 2023. Sementara impor Cina turun 6,8% di bulan Juni 2023 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Kontraksi impor Cina juga turun lebih dalam setelah anjlok 4,3 % pada Mei 2023.
"Perdagangan Cina masih menghadapi tekanan yang cukup besar di paruh kedua tahun ini, sebagian karena inflasi yang tinggi di negara maju dan geopolitik," kata Lu Daliang, juru bicara biro bea cukai China, pada konferensi pers seperti dikutip dari CNBC News, Kamis (13/7).
Rilis data perdagangan tersebut merupakan indikasi lain bahwa para pemimpin Cina tidak akan dapat sepenuhnya mengandalkan faktor eksternal dalam menghidupkan kembali momentum pertumbuhan yang goyah setelah pandemi. Cina harus bergantung pada permintaan domestik.
"Data terbaru di negara-negara maju menunjukkan sinyal yang konsisten dari pelemahan lebih lanjut yang kemungkinan akan memberi tekanan lebih besar pada ekspor China di sisa tahun ini," kata Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management.
Ekspor China ke AS anjlok 24% pada Juni menjadi $42,7 miliar dari tahun lalu, sementara impor turun 4% menjadi hampir $14 miliar, menurut perhitungan CNBC dari data resmi yang diakses melalui Wind Information.
Ekspor China ke 10 negara ASEAN turun 17% menjadi US$43,3 miliar pada Juni dari tahun lalu. Sementara impor turun 4% menjadi $34,1 miliar, data menunjukkan.
Angka ini juga menunjukkan nilai gabungan perdagangan Cina mencapai US$77,4 miliar dengan ASEAN pada bulan Juni. jumlah yang lebih besar dari nilai perdagangan China dengan UE sebesar US$68,8 miliar dan AS sebesar US$55,7 miliar.
Berdampak pada Harga Komoditas
Melemahnya perdagangan negara ekonomi kedua terbesar tersebut diperkirakan akan berdampak pada harga komoditas. Direktur Center of Economic and Law Studies atau CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan ekonomi Cina mengarah ke kontraksi selepas pandemi Covid-19. Dia juga memprediksi perdagangan Cina akan mengalami kontraksi dan perlambatan ekonomi pada 2024.
Bhima mengatakan, perlambatan ekonomi Cina perlu diwaspadai karena negara tersebut merupakan mitra dagang Indonesia yang cukup besar. Perlambatan ekonomi Cina akan berdampak pada sejumlah harga komoditas unggulan ekspor Indonesia terutama nikel, timah, baja, dan CPO.
"Apalagi Indonesia tengah gencar melakukan hilirisasi nikel dan timah yang sebagian besar dari produk tersebut dikirim ke Cina," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (13/7).
Selain berdampak pada serapan produk, Bhima mengatakan, pelemahan perdagangan Cina juga bisa berdampak pada investasi di sektor hilirisasi dan kontruksi.
"Apalagi tren investasi konstruksi dan infrastruktur mengalami kenaikan yang cukup besar dalam lima tahun terakhir, sehingga perlu dicek juga bagaimana situasi ini berpengaruh pada komitmen investasi di proyek-proyek infrastruktur," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Investasi, nilai Penanaman Modal Asing dari Tiongkok mencapai US$1,2 miliar pada Kuartal I-2023. Posisi Cina tersalip oleh Hongkong di urutan kedua dengan nilai investasi US$1,5 miliar.
"Jadi Hong Kong menggeser Tiongkok. Mungkin Hong Kong ini di beberapa negara Eropa dijadikan hub. Kalau Singapura, teman-teman sudah tahu kan ini uang sebagian orang Indonesia dan saya tidak akan pernah bosan menyampaikan itu, jadi mereka (Singapura) tidak paten-paten juga," ujar Bahlil dalam konferensi pers, Jumat (28/4/2023).
Berikut daftar lengkap negara dengan PMA terbesar di Indonesia, seperti tertera dalam grafik.