TikTok Indonesia buka suara terkait rencana pemerintah yang akan mengenakan biaya pajak setiap melakukan transaksi belanja melalui Social Commerce. Rencana tersebut nantinya akan tertuang dalam revisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

"Kami sambut baik revisi peraturan Menteri Perdagangan. Jadi semangat yang kita bawa kita coba dukung oleh Kemenkop perlu ada revisi, dan kami dukung baik," ujar Head of Communications TikTok Indonesia Anggini Setiawan dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (26/7). 

Anggini mengatakan, setelah revisi Permendag No.50/2020 tersebut telah disahkan, TikTok Indonesia akan patuh terhadap semua aturannya, dan tidak keberatan jika pemerintah akan mengenakan biaya pajak. 

“Dan kami percaya semangat ini untuk memberikan kesempatan yang sama dengan semua platform untuk berinovasi dan melayani pasar," kata dia. 

Pada kesempatan yang sama, Digital Economy Researcher INDEF Nailul Huda menilai, dengan adanya kebijakan pemberlakukan pajak tersebut dapat mengurangi jumlah para penjual lokal yang menjual produk impor di Indonesia.

Selain itu, dia menyarankan dalam baleid Permendag tersebut, pemerintah harus mengenakan biaya tambahan lainnya bagi penjual lokal yang sengaja menjual barang impor. 

"Karena itu bisa menjadi asal insentif bagi penjual lokal, karena para penjual impor ini akan menyaingi penjual yang menjual produk lokal,” kata dia. 

Revisi Permendag Nomor 50/2020

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, telah meminta Kementerian Perdagangan atau Kemendag untuk segera mengeluarkan revisi Permendag No.50/2020 tentang perdagangan melalui sistem elektronik atau PMSE. Teten mengatakan, e-commerce tak bisa membedakan produk lokal atau impor yang dijual di platformnya.

“Ketika saya mau buat kebijakan subsidi untuk UMKM di platform online saat pandemi Covid-19, semua pelaku usaha tidak bisa memisahkan mana produk UMKM dan yang impor. Mereka hanya bisa memastikan bahwa yang berjualan adalah UMKM dan mereka tidak bisa pastikan produknya. Jadi jangan bohongi saya,” kata Teten di Kantor Kemenkop UKM, di Jakarta, Rabu (12/7).

Untuk itu, Ia mendesak Kemendag agar merevisi Permendag Nomor 50/2020 yang saat ini baru mengatur perdagangan di e-commerce, bukan social commerce. Ia mengaku revisi aturan tersebut sudah diwacanakan sejak tahun lalu, namun hingga kini masih belum terbit

"Itu bukan hanya untuk TikTok, untuk seluruh e-commerce lintas-batas alias cross border commerce. Jadi jangan kemudian saya dianggap anti-TikTok, bukan. Saya hanya mau melindungi produk UMKM supaya ada playing field yang sama dengan produk dari luar, jangan kemudian mereka diberi kemudahan,” ujar Teten. 

Pengguna TikTok di seluruh dunia bertambah 12,6% dibandingkan pada tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Jika dibandingkan kuartal sebelumnya, aplikasi besutan Bytedance ini naik 3,9% (quarter-to-quarter/qtq). 

Berdasarkan negaranya, pengguna TikTok paling banyak masih berasal dari Amerika Serikat. Terdapat 116,49 juta pengguna TikTok yang berasal dari Negeri Paman Sam pada April 2023. 

Adapun Indonesia juga kukuh di peringkat kedua dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak dunia yaitu mencapai 112,97 juta pengguna. Jumlah tersebut hanya selisih 3,52 juta pengguna dari jumlah pengguna TikTok di AS.

Reporter: Nadya Zahira