ITC: Aturan Deforestasi Eropa Berpotensi Hancurkan Perdagangan Global
Aturan anti deforestasi Uni Eropa dinilai dapat menjadi malapetaka bagi perdagangan global. Direktur Eksekutif International Trade Centre (ITC) Pamela Coke-Hamilton mengatakan aturan tersebut hanya menguntungkan perusahaan besar.
Menurutnya, perdagangan global akan terdampak secara signifikan jika UE tidak membantu produsen kecil dan negara berkembang beradaptasi dengan aturan baru tersebut. Pasalnya mereka tidak dapat melacak di mana produk mereka ditanam, dan apakah telah mengorbankan hutan.
“Apa yang mungkin dilakukan oleh produsen terbesar ketika mereka tidak dapat melakukan ketertelusuran untuk para produsen kecil adalah putuskan saja mereka,” kata Coke-Hamilton, seperti dikutip dari Financial Times, pada Senin (21/8).
Negara-negara seperti Brasil atau Honduras, di antara pemasok utama kopi ke blok tersebut, atau Indonesia dan Malaysia, pengekspor utama minyak kelapa sawit dan karet, termasuk yang paling terpengaruh oleh peraturan tersebut.
Coke-Hamilton memperingatkan bahwa eksportir dari negara-negara tersebut dapat mencoba untuk menghindari peraturan tersebut dengan mengirimkan barang ke negara-negara dengan aturan impor yang tidak terlalu ketat, yang akan mengganggu arus perdagangan.
Bergantung pada seberapa baik UE menangani jangkauannya ke negara-negara berkembang, dampak undang-undang tersebut pada perdagangan global bisa menjadi “bencana atau tidak berdampak apa-apa,” ujarnya menambahkan.
Aturan yang akan mulai berlaku pada akhir tahun depan ini adalah yang pertama di dunia yang melarang impor produk yang terkait dengan deforestasi, termasuk ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai, kayu, dan karet.
Ini adalah bagian dari agenda lingkungan ambisius yang ditetapkan oleh presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada 2019 yang memberi blok tersebut target untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2050.
Para menteri dari Indonesia dan Malaysia, yang prihatin dengan industri kelapa sawitnya, termasuk di antara mereka yang mendesak UE untuk melonggarkan aturan baru tersebut.
“Jika produsen kecil tidak dapat memenuhi persyaratan untuk mengekspor barang yang dicakup oleh undang-undang, ini berisiko menjadi lingkaran setan,” kata Coke-Hamilton.
“Begitu Anda kehilangan pangsa pasar, Anda kehilangan pendapatan, maka Anda akan mengalami peningkatan kemiskinan, kemudian peningkatan deforestasi karena akar dari deforestasi adalah kemiskinan. Kita berisiko jatuh ke dalam perangkap untuk memperkuat sesuatu yang kita coba untuk ubah,” ujarnya lagi.
Undang-undang tersebut akan membandingkan negara berdasarkan apakah mereka memiliki risiko deforestasi atau degradasi hutan yang rendah, standar atau tinggi. Barang yang berasal dari daerah berisiko tinggi akan diperiksa oleh petugas bea cukai.
Ke-27 negara anggota UE akan bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan dan menolak barang yang berasal dari area di mana hutan telah ditebang atau rusak sejak 2020.
Food and Argriculture Organization (FAO) PBB memperkirakan bahwa 420 juta hektare (ha) hutan – area yang lebih luas dari UE – telah hilang di seluruh dunia antara 1990 dan 2020. Data FAO menunjukkan dunia terus kehilangan tambahan 10 juta ha lahan hutan per tahun.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa ketika mendapatkan produk, upaya yang wajar harus dilakukan untuk memastikan bahwa harga yang adil dibayarkan kepada produsen, khususnya petani kecil, sehingga memungkinkan pendapatan hidup dan mengatasi kemiskinan secara efektif sebagai akar penyebab deforestasi.
Komisi Eropa telah mengadakan pertemuan dengan pemangku kepentingan dari berbagai negara, termasuk di WTO pada bulan Juni. Coke-Hamilton mengatakan bahwa, mengingat krisis iklim yang akut, dia mendukung niat tindakan tersebut.
Tetapi meskipun kelonggaran diterapkan pada produsen kecil, persyaratan informasi dan kewajiban untuk menggunakan teknologi geolokasi masih menjadi beban yang terlalu berat.
“Banyak petani mencoba bangkit pasca-Covid menghadapi krisis biaya hidup, perubahan iklim. Mereka hanya terjebak dalam pusaran kelangsungan hidup ini,” tambahnya.
Komisi itu mengatakan peraturan itu berlaku untuk komoditas, bukan negara, dan tidak bersifat menghukum atau proteksionis, tetapi menciptakan arena permainan yang setara. Ini akan diterapkan dengan cara yang adil yang tidak merupakan diskriminasi atau tidak dapat dibenarkan untuk produsen negara ketiga, atau pembatasan perdagangan yang terselubung.
Ia menambahkan bahwa undang-undang tersebut harus sepenuhnya kompatibel dengan peraturan WTO dan diharapkan untuk meningkatkan peluang pasar bagi produsen berkelanjutan terlepas dari ukurannya. UE harus meninjau undang-undang tersebut dan dampaknya, terutama pada petani kecil dan masyarakat adat, paling lambat Juni 2028.