Malaysia Tiru Hilirisasi Indonesia, Larang Ekspor Logam Tanah Jarang

ANTARA FOTO/Media Center KTT ASEAN 2023/Rommy Pujianto/foc.
PM Malaysia Dato Seri Anwar Ibrahim memberi pandangan saat Retreat Session KTT ke-43 ASEAN 2023 di Jakarta Convention Center, Selasa (5/9/2023).
13/9/2023, 10.37 WIB

Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, mengumumkan akan mengembangkan kebijakan hilirisasi dengan melarang ekspor bahan mentah logam tanah jarang. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembangkan industri dalam negeri dan menghindari eksploitasi sumber daya, seperti kebijakan hilirisasi yang telah dilakukan Indonesia pada Nikel dan komoditas lainnya.

"Pemerintah akan mendukung pengembangan industri logam tanah jarang di Malaysia dan larangan tersebut akan menjamin keuntungan maksimal," kata Anwar Ibrahim dikutip dari Reuters, Rabu (13/9).

Kebijakan tersebut menjadikan Malaysia negara terbaru yang membatasi pengiriman mineral utama. Namun demikian, dia belum mengumumkan kapan kebijakan tersebut diterapkan. 

Industri logam tanah jarang diperkirakan akan menyumbang sebesar 9,5 miliar ringgit atau US$2 miliar terhadap produk domestik bruto negara itu pada tahun 2025. Kebijakan itu juga menciptakan hampir 7.000 lapangan kerja.

“Pemetaan detail sumber unsur tanah jarang dan model bisnis komprehensif yang memadukan industri hulu, tengah, dan hilir akan dikembangkan untuk menjaga rantai nilai tanah jarang di tanah air,” ujarnya.

Menurut data Survei Geologi Amerika Serikat pada tahun 2019, Malaysia hanya memiliki sedikit cadangan tanah jarang di dunia dengan perkiraan 30.000 metrik ton. Sementara  Tiongkok adalah sumber terbesar dengan perkiraan cadangan 44 juta ton.

Adapun mineral tanah jarang (rare earth) digunakan sebagai bahan baku dalam cip semikonduktor, kendaraan listrik, dan peralatan militer.

Anwar mengatakan, pemerintah akan mendukung pengembangan industri logam tanah jarang di Malaysia dan larangan tersebut akan "menjamin keuntungan maksimal bagi negara tersebut".

Kebijakan hilirisasi yang diterapkan Malaysia dapat mempengaruhi penjualan ke Tiongkok, yang mengimpor sekitar 8% bijih tanah jarang dari negara Asia Tenggara tersebut antara bulan Januari dan Juli tahun ini, menurut data bea cukai Tiongkok.

Mineral Kritis

Awal tahun ini, Tiongkok jug mengumumkan pembatasan ekspor beberapa logam yang digunakan secara luas di industri semikonduktor. Kebijakan itu dipandang sebagai tindakan pembalasan atas pembatasan AS terhadap penjualan teknologi ke Tiongkok.

Pembatasan tersebut memicu kekhawatiran bahwa Tiongkok juga dapat membatasi ekspor mineral penting lainnya termasuk logam tanah jarang.

Analis David Merriman di Project Blue mengatakan dampak pelarangan di Malaysia masih belum jelas karena kurangnya rincian, namun pelarangan bijih tanah jarang dapat berdampak pada perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Malaysia.

“Undang-undang tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap potensi investasi di Malaysia dari pihak Tiongkok, yang telah melirik negara-negara Asia lainnya untuk mendapatkan senyawa tanah jarang yang belum diproses atau dicampur sebagai bahan baku untuk fasilitas pengolahan (tanah jarang) di Tiongkok selatan,” kata Merriman.

Produsen logam tanah jarang terbesar di luar Tiongkok, Lynas Rare Earths Ltd dari Australia, memiliki pabrik di Malaysia untuk memproses konsentrat yang diperolehnya di Australia.

Tidak jelas apakah rencana larangan ekspor Malaysia akan berdampak pada Lynas, yang tidak segera menanggapi permintaan komentar.

Malaysia telah memberlakukan pembatasan pada beberapa operasi pemrosesan Lynas, dengan alasan kekhawatiran mengenai tingkat radiasi dari proses cracking dan leaching. Lynas membantah tuduhan tersebut dan mengatakan hal itu sesuai dengan peraturan.