Badan Pangan Nasional atau Bapanas mendata rata-rata nasional harga beras premium mencapai Rp 14.900 per kg dan harga beras medium Rp 13.430 per kg pada Rabu (4/10). Kenaikan harga beras dipengaruhi oleh produksi beras yang turun 1,2 juta ton tahun ini.
Harga beras premium tertinggi terdapat di Papua senilai Rp 18.390 per kg, sementara harga beras premium terendah ada di Banten senilai Rp 13.840 per kg. Adapun harga beras medium tertinggi ada di Papua Rp 16.130 per kg dan terendah ada di Kalimantan Selatan Rp 12.100 per kg.
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, akan meminta bantuan pemerintah daerah untuk menurunkan rata-rata nasional harga beras. Menurutnya, hal tersebut sesuai arahan Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas di Istana Negara awal pekan ini.
"Kemarin, presiden sudah minta saya dan menteri dalam negeri untuk membantu menurunkan harga beras. Jadi, setiap pimpinan daerah bertanggung jawab untuk membantu kami stabilisasi harga pangan," kata Arief di Pasar Induk Beras Cipinang, Rabu (4/10).
Arief menekankan akar naiknya harga beras saat ini adalah minimnya produksi. Walau demikian, Arief menyatakan akan berusaha keras untuk menekan harga beras di dalam negeri.
Harga Beras Jauh di Atas HPP
Arief mengakui harga gabah lokal sudah jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah atau HPP. Untuk diketahui, HPP yang ditetapkan pemerintah saat ini adalah Rp 5.000 per Kg untuk Gabah Kering Panen di tingkat petani dan Rp 5.100 per Kg di tingkat penggilingan. Sementara itu, HPP Gabah Kering Giling di tingkat penggilingan dinaikkan menjadi Rp 6.200 per Kg di tingkat penggilingan dan Rp 6.300 di tingkat Bulog.
Akan tetapi, NFA mendata kini GKP di tingkat petani telah mencapai Rp 6.700 per Kg dan di tingkat penggilingan Rp 7.020. Adapun, GKG di tingkat penggilingan dijual senilai Rp 7.570 per Kg. Artinya, pemerintah melalui Bulog tidak bisa menyerap gabah produksi lokal lantaran harga pasar telah di atas HPP.
Perum Bulog mendata telah menyerap gabah lokal sekitar 820.000 ton pada musim panen raya tahun ini. Dengan demikian, Bulog meramalkan total beras yang akan diserap dari dalam dan luar negeri pada tahun ini mencapai 2,9 juta ton.
Produksi Anjlok
Sebelumnya, Kementerian Pertanian menghitung terjadi penyusutan produksi beras sebesar 1,2 juta ton hingga akhir tahun. Penurunan produksi beras diakibatkan siklus cuaca kering El Nino atau pemanasan suhu muka laut yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.
Wakil Menteri Pertanian, Harvick Hasnul Qolbi, menjelaskan dampak El Nino yang terus berlanjut dapat mengurangi intensitas pengairan untuk area persawahan padi. "Ketersediaan air ini sangat tergantung karena pertanian kita ini tadah hujan. Jadi ini berpengaruh sekali," kata Harvick di Istana Merdeka Jakarta pada Selasa (3/10).
Fenomena El Nino berdampak negatif pada target produksi 30 juta ton beras sampai akhir tahun tak tercapai. Harvick pun mengakui bahwa tingkat produksi beras tahun ini berada di angka yang cenderung konservatif dari biasanya.
"Kami tidak terlalu berani optimistis karena melihat situasi El Nino dan lain-lain," ujarnya.
Guna memenuhi kebutuhan domestik, pemerintah telah mengimpor beras untuk mengisi cadangan pangan pemerintah. Hal tersebut diharap bisa menjaga keandalan pangan dalam negeri meski terjadi penurunan produksi beras. "Mungkin kalau untuk sampai akhir tahun ini terpaksa pemerintah lakukan impor karena ada penurunan produksi yang cukup signifikan," kata Harvick.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan kondisi El Nino memicu ancaman kekeringan air untuk kepeluan pertanian yang berpotensi meningkatkan risiko gagal panen. Dia mencatat ada 114 danau dan 323 situ atau embung biasanya menjadi pusat pengairan sawah.
"Air untuk pertanian dianggap kurang namun kira-kira antara 60% - 80% masih efekif, jadi masih bisa teratasi," kata Siti pada kesempatan yang sama.