Petani Nilai Harga TBS Rendah Akibat Sengketa 3,3 Juta Ha Lahan Sawit

ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc.
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Sorta Tobing
15/11/2023, 15.20 WIB

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia atau Apkasindo mendata harga tandan buah sawit atau TBS masih rendah walau harga minyak sawit mentah atau CPO telah membaik. Kondisi ini diduga akibat rencana pemutihan lahan sawit seluas 3,3 juta hektare.

Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung menyatakan lahan sawit milik petani dari kasus sengketa tersebut mencapai 2,6 juta hektare. Artinya, hampir 40% lahan terhambat produksinya.

TBS dari lahan sengketa itu tetap diserap oleh pabrik kelapa sawait atau PKS. Hanya saja, harga yang diterima para petani lebih kecil lantaran rantai pasoknya menjadi lebih panjang akibat sengketa lahan.

"Akhirnya petani sawit hanya menerima 40% sampai 50% dari harga TBS yang ditetapkan pemerintah melalui dinas perkebunan daerah setempat," kata Gulat kepada Katadata.co.id, Rabu (15/11).

Rata-rata harga TBS yang diterima petani selama tiga minggu terakhir adalah Rp 1.600 sampai Rp 2.300 per kilogram. Angka tersebut lebih rendah dari harga TBS yang ditetapkan pemerintah di rentang Rp 2.250 sampai Rp 2.800 per kg.

Pada saat yang sama, Gulat mengamati harga CPO di dalam negeri telah membaik menjadi Rp 10.750 sampai Rp 11.500 per kg.

Di sis lain, menurut dia, pemutihan lahan sawit seluas 3,3 juta hektare tersebut menyalahi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Lahan sawit yang berada di atas kawasan hutan seharusnya dapat beroperasi secara legal dengan penerbitan beleid tersebut.

Selain itu, aturan deforestasi Uni Eropa atau EUDR telah melegalkan keberadaan lahan sawit di kawasan hutan tersebut. Sebab, mayoritas lahan tersebut telah berdiri sebelum 2020.

Selain persoalan status lahan, belum membaiknya harga TBS di tingkat petani diperburuk dengan citra sawit lokal di pasar global. Alhasil, Gulat menduga spekulan menaikkan harga CPO di dalam negeri untuk meraup keuntungan.

"Ini sama saja mematikan ekonomi sawit. Padahal, ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi di hulu sampai hilir industri sawit," katanya.

Sebelumnya, pemerintah menyebut 3,3 juta hektare kebun sawit petani masuk dalam kawasan hutan. Lahan tersebut akan diputihkan dengan tujungan mendukung perbaikan tata kelola industri sawit.

Persoalan lalu muncul karena para petani mengklaim lahan mereka sudah mendapatkan hak guna usaha atau HGU dari pemerintah. Dengan adanya izin ini seharusnya lahan mereka tak termasuk dalam kawasan hutan.

Namun, pemerintah menganggap sebaliknya. Sebab, status HGU kini bertabrakan dengan perizinan usaha sawit yang diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja. 

Harga CPO Tembus US$ 1.000 per Ton?

Analis minyak nabati global memperkirakan, harga CPO bisa menebus US$ 1.000 per ton pada 2024. Namun, El Nino akan menjadi faktor penentu berapa lama harga CPO akan bertahan di atas US$ 1.000 per ton.

Oil World menyatakan harga CPO setidaknya akan naik US$ 100 per ton dari harga saat ini. Karena itu, harga CPO dinilai dapat menembus US$ 1.000 per ton pada paruh pertama tahun depan.

"Harga CPO bahkan bisa naik lebih dari US$ 200 per ton dalam enam bulan ke depan. Proyeksi fundamental adalah defisit produksi, dan ini akan meningkatkan pembelian oleh konsumen," kata CEO Oil World Thomas Mielke dalam Indonesia Palm Oil Conference 2023 pada 3 November lalu.

Solvent Extractors' Association of India mendata harga CPO global pada 25 Oktober 2023 adalah US$ 855 per ton. Angka tersebut turun 8,84% dari capaian Oktober 2022 senilai US$ 938 per ton.

Mielke menyampaikan harga CPO saat ini di bawah harga pasar atau undervalue dan mendekati harga terbawahnya saat ini. Bahkan, harganya saat ini dapat terus melemah.

Pada saat yang sama, ia menilai proyeksi defisit produksi akan membuat produsen CPO enggan untuk melepas produknya ke pasar saat ini. Karena itu,  harga CPO masa depan akan terapresiasi. "Trennya di sana. Harga saat ini undervalue relatif pada permintaan dan pasokan CPO global," ujarnya.

Reporter: Andi M. Arief