Pengusaha Waswas, Seberapa Besar Dampak Aksi Boikot Produk Pro Israel?

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/tom.
Ilustrasi. Sebagian masyarakat memboikot produk-produk yang dianggap terafiliasi dengan Israel.
Penulis: Agustiyanti
29/11/2023, 11.13 WIB

Pengusaha mewaspadai dampak aksi boikot yang dilakukan masyarakat terhadap produk-produk yang dianggap terafiliasi dengan Israel. Asosiasi Pengusaha Indonesia menyebut, langkah ini berdampak pada perusahaan-perusahaan di dalam negeri yang diklaim sebenarnya tak memiliki kaitan dengan Israel. 

"Yang kami lihat, sebagian besar produk dalam daftar yang ramai dibagikan di media sosial adalah produk-produk asli Indonesia," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Shinta Khamdani di Hotel Four Season Jakarta, Selasa (28/11).

Shinta mencontohkan, salah satu anggotanya yang dituduh dinilai terafiliasi atau mendukung Israel, yakni PT Unilever Indonesia Tbk. Menurutnya, Unilever  telah lama berbisnis di dalam negeri dan tidak memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan Israel. Ia telah memastikan Unilever tidak berkaitan atau mendukung agresi Israel ke Palestina.

Lantaran informasi yang simpang siur, Apindo berencana mengeluarkan daftar produk yang memang terafiliasi dengan Israel. Ini untuk mencegah dampak buruk aksi boikot yang dianggap salah sasaran. Boikot produk, menurut dia, dampak berdampak pada pekerja-pekerja hingga para petani di Indonesia. 

Pemerintah Tak Boikot Produk Pro Israel 

Pemerintah sendiri tak dapat melarang aksi boikot produk pro Israel meski mungkin memiliki dampak negatif bagi sebagian perusahaan di dalam negeri. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, boikot adalah hak konsumen untuk tidak membeli produk tertentu.

"Hak masyarakat  untuk tidak membeli produk-produk yang dinilai terafiliasi dengan Israel. Pemerintah tidak ada boikot produk apapun," kata Zulhas di Gedung DPR, Senin (27/11).

Sebagian masyarakat Indonesia memutuskan untuk memboikot sejumlah produk dari perusahaan-perusahaan yang dianggap terafiliasi dengan Israel. Aksi boikot ini dipopulerkan melalui gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).

Gerakan yang sudah dimulai sejak 2005 dan ramai kembali diserukan di tengah perang Israel dan Hamas yang kembali menewaskan belasan ribu warga sipil Palestina.  Dalam situs BDS Movement, mereka menyerukan dukungan untuk Palestina dengan memboikot produk-produk yang dianggap mendukung aksi Israel. Beberapa, di antaranya yakni AXA, HP, Carrefour, Siemens, Puma, Domino’s, Starbucks, MCD, Burger King, dan Pizza Hut. 

Unilever dan Danone tak masuk dalam daftar tersebut, tetapi turut diboikot. Ajakan untuk memboikot produk dari kedua perusahaan tersebut ramai  karena dianggap berafiliasi dengan Israel diserukan di media sosial.

Faris, 35 tahun dan keluarganya mengganti air minum dalam galon mereka dengan isi ulang sejak dua bulan terakhir. Padahal dalam satu pekan, ia dan keluarganya biasanya membeli tujuh galon Aqua untuk minum sehari-hari.  "Yang paling otomatis berubah di rumah itu air galon, sekarang ganti isi ulang. Makan di  MCD juga sudah enggak," ujar Faris kepada Katadata.co.id.

Tak hanya memboikot produk Danone, ia juga tak lagi membeli ayam goreng dari MCD hingga produk-produk Unilever.

Hal yang sama juga dilakukan Marsya, 28 tahun, dan Suci, 35 tahun. Sudah dua bulan terakhir mereka tak menggunakan produk-produk Unilever yang sebelumnya menjadi bagian dari keseharian mereka.

"Karena kita enggak mungkin langsung ke Palestina. Maka yang bisa dilakukan, hanya berdoa, berdonasi, dan boikot," ujarnya.

Dampak Boikot Produk Pro Israel

Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia atau AP3MI memproyeksikan aksi boikot produk yang terafiliasi dengan Israel berpotensi menggerus transaksi di pasar modern hingga 50%. Mayoritas barang yang ada dalam daftar boikot merupakan produk pareto.

Produk pareto adalah barang yang berkontribusi hingga 80% dari total barang di pasar modern, tetapi kontribusi ke transaksi hanya 20%. Umumnya produk pareto adalah produk konsumer seperti shampo, susu balita, dan minuman ringan.

"Pengurangan penjualan produk pareto biasanya dari isu yang kecil dan berkembang. Mungkin transaksi di pasar hilir bisa berkurang sampai 50% dan target ekonomi pemerintah akan sulit tercapai," kata Sekretaris Jenderal AP3MI Uswati Leman Sudi. 

Ia menyampaikan dampak terburuk dari program boikot tersebut adalah pengurangan tenaga kerja di sektor manufaktur. "Kami berharap aksi boikot jangan terlalu lama. Kami menanti pemerintah hadir untuk bisa menegaskan dampak boikot ini agar tidak gamang," ujarnya.