Pengadilan Hong Kong memerintahkan untuk melikuidasi perusahaan asal Cina, Evergrande. Keputusan ini diambil karena raksasa properti tersebut tidak mampu membayarkan utang atau kewajibannya yang mencapai lebih dari $325 miliar atau setara Rp 5.144,60 triliun (kurs Rp 15.829/US$).
Likuidasi adalah suatu proses penyitaan dan penjualan aset suatu perusahaan. Hasil sitaan pengadilan dapat digunakan untuk membayar utang yang sebelumnya tidak dapat dibayarkan.
Mengutip BBC,Hakim Linda Chan menyatakan, waktu yang diberikan bagi Evergrade sudah cukup. Evergrande telah gagal mengajukan proposal restrukturisasi.
Keputusan ini kemungkinan akan menimbulkan dampak besar bagi pasar keuangan Cina. Pihak berwenang saat ini tengah berusaha mengekang aksi jual saham Evergrande di bursa efek. Adapun harga saham Evergrande di bursa saham Hong Kong jatuh lebih dari 20% ketika pengumuman.
Profil Evergrande
Evergrande adalah grup pengembang properti terbesar kedua di Cina dari sisi penjualan. Pada 2021, mereka masuk dalam daftar 500 perusahaan global Fortune atau Fortube Global 500 list dan menempati urutan ke-122 sebagai perusahaan dengan pendapatan terbesar.
Perusahaan yang berbasis di Provonsi Guangdong, Tiongkok Selatan ini menjual apartemen-apartemen, terutama untuk para pembeli dengan pendapatan menengah ke atas.
Forbes menyebut Evergrande Group memiliki delapan anak usaha yang bergerak di berbagai industri besar. Seperti Evergrande Real Estate, Evergrande New Energy Auto, Evergrande Property Services, HengTen Networks, FCB, Evergrande Fairyland, Evergrande Health, dan Evergrande Spring.
Mengutip BBC, Evergrande didirikan oleh Hui Ka Yan. Ia lahir dari keluarga miskin pedesaan pada tahun 1958 dan dibesarkan oleh neneknya di sebuah desa di provinsi Henan tengah setelah ibunya meninggal.
Setelah lulus dari universitas pada tahun 1982, ia menghabiskan dekade berikutnya bekerja sebagai teknisi baja sebelum menjadi salesman di sebuah pengembang properti di kota Guangzhou di Tiongkok selatan. Di sanalah ia mendirikan Evergrande pada tahun 1996.
Perusahaan ini berkembang pesat seiring dengan berkembangnya perekonomian Tiongkok dengan meminjam uang dalam jumlah besar. Hui Ka Yan pun pernah masuk dalam daftar orang terkaya di Asia versi Majalah Forbes pada 2017. Harta kekayaannya saat itu diperkirakan mencapai US$ 42,5 miliar.
“Dia adalah contoh bagaimana siapa pun bisa menjadi kaya jika Anda cukup pintar dan bekerja cukup keras,” kata Alicia Garcia Herrero, kepala ekonom Asia-Pasifik di bank investasi Prancis Natixis.
Bagaimana Evergrande Berakhir Bangkrut?
Evergrande yang berkembang pesat mengumpulkan US$9 miliar dalam pencatatan pasar saham Hong Kong pada 2009. Pertumbuhan tersebut kemudian didorong oleh pendekatan “leverage maksimum” yang diterapkan Hui.
Model bisnis Evergrande adalah meminjam sejumlah besar uang dan kemudian secara agresif menjual apartemen yang bahkan belum dibangun. Unit real estat grup tersebut saat ini memiliki lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di negara tersebut.
Kerajaan bisnis Hui berkembang hingga mencakup lebih dari sekedar properti dan kini mencakup operasi termasuk manajemen kekayaan, pembuatan mobil listrik dan manufaktur makanan dan minuman. Mereka juga memiliki saham mayoritas di tim sepak bola ternama Tiongkok, Guangzhou FC.
Namun, masa-masa jaya Evergrande usai begitu Beijing memperketat aturan di sektor properti. Langkah-langkah baru ini membuat Evergrande menawarkan propertinya dengan diskon besar sebagai upaya untuk mempertahankan bisnisnya. Namun, kini mereka kesulitan membayar utangnya. Krisis ini telah menyebabkan valuasi pasar saham menyusut sebesar 99% dan kekayaan Hui anjlok menjadi $3,2 miliar.
Lilitan utang yang membelit Evergrande sebenarnya sudah menjadi perbincangan sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2021, Evergrande memiliki utang senilai US$ 330 miliar. Pada Juli tahun ini, perusahaan melaporkan kerugian gabungan periode 2021 dan 2022 mencapai US$ 81 miliar.
Pengadilan Hong Kong pada Senin (29/1) pun akhirnya memutuskan untuk melikuidasi Evergrande. Mereka mencatat, raksasa Cina ini tidak mampu membayarkan utang atau kewajibannya yang mencapai lebih dari $325 miliar atau setara Rp 5.144,60 triliun (kurs Rp 15.829/US$).
Kasus Evergrande diajukan oleh salah satu investor yaitu Top Shine Global yang berbasis di Hong Kong, pada Juni 2022 lalu. Mereka menyebut, Evergrande tidak dapat menepati janjinya untuk buyback atau pembelian kembali saham. Namun utang Top Shine hanyalah sebagian kecil dari total utang Evergrande.
Sebagian besar utangnya berasal dari pemberi pinjaman di Cina daratan yang memiliki jalur hukum terbatas untuk meminta dana mereka bisa kembali. Sebaliknya, kreditor asing bebas mengajukan kasus ke pengadilan di luar Cina. Beberapa telah memilih Hong Kong, tempat Evergrande dan pengembang lainnya terdaftar, untuk mengajukan tuntutan hukum.