Kementerian Perdagangan atau Kemendag memastikan fitur transaksi dalam TikTok Shop sudah memenuhi Peraturan Menteri Perdagangan No. 31 Tahun 2023 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Ini karena fitur transaksi di Tiktok Shop hanya sebatas front-end, sedangkan sistem akhir atau back-end dalam fitur transaksi tersebut ada di PT Tokopedia Indonesia.
Meski demikian, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim mengatakan TikTok Shop masih belum memenuhi Permendag No. 31 Tahun 2023 secara penuh. Menurutnya, masih ada sekitar 13% dari total persyaratan beleid tersebut yang belum dipenuhi media sosial asal Cina tersebut.
"Sekitar dua minggu yang lalu saya bilang masih kurang 25% untuk sesuai dengan Permendag No. 31 Tahun 2023, sekarang tinggal 13% lah," kata Isy di Ballroom Hotel Kempinski, Senin (4/3).
Permendag No. 31 Tahun 2023 secara eksplisit mengatur pemisahan aplikasi maupun sistem elektronik lokapasar dan social commerce. Isy berargumen pemisahaan front-end dan back-end dalam TikTok Shop telah mematuhi klausul tersebut.
Isy menjelaskan, kekurangan yang dimaksud adalah pemisahan antara TikTok dan TikTok Shop. Tampilan TikTok Shop sudah berubah dari menggunakan mayoritas warna hitam menjadi warna hijau. Namun, logo utama dalam aplikasi tersebut masih tertulis TikTok bukan TikTok Shop.
Permendag No. 31 Tahun 2023 menetapkan social commerce harus menjadi entitas usaha yang terpisah dari usaha media sosial. Ini karena social commerce wajib menjaga data pengguna sosial media dan tidak boleh digunakan untuk perdagangan elektronik atau perusahaan afiliasinya.
Revisi Permendag No. 31 Tahun 2023
Isy mengatakan, pemerintah kini sedang mengkaji kekurangan Permendag No. 31 Tahun 2023. Namun, ia menekankan, proses revisi beleid tersebut masih panjang.
Salah satu isu yang disoroti Isy adalah praktek predatory pricing dalam TikTok Shop. Dengan kata lain, harga yang ditawarkan dalam TikTok Shop jauh lebih rendah dibandingkan lokapasar lainnya.
Predatory pricing adalah praktek menurunkan harga demi mematikan bisnis kompetitor dengan menguasai pangsa pasar. Isy mengaku, pihaknya sulit untuk membuktikan praktek tersebut dilakukan oleh toko daring dalam TikTok Shop.
"Kami harus membuktikan seberapa murah sebuah barang, berapa selisih jual rugi yang dilakukan, itu harus dibuktikan," katanya.
Isy mengatakan tantangan dalam pembuktian praktek predatory pricing adalah standar Harga Pokok Produksi atau HPP. Isy mencontohkan waktu penentuan HPP minyak goreng curah senilai Rp 13.000 per liter yang cukup lama.
"Bagaimana menentukan HPP ribuan produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan kemudain dijual secara rugi? Predatory pricing harus kami buktikan, tidak bisa buktinya sekedar murah," ujarnya.