Merek-merek besar barat mulai dari Unilever, McDonald’s, hingga Starbucks dan Danone terkena boikot konsumen di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim. Boikot ini bagian dari dampak konflik Israel-Hamas.
Unilever, yang produknya terkenal seperti sabun Dove dan es krim Ben & Jerry’s, serta jaringan makanan cepat saji global McDonald’s termasuk di antara perusahaan-perusahaan yang mengatakan bisnis mereka terpuruk akibat boikot.
“Di Indonesia penjualan turun sebesar dua digit pada kuartal keempat (2023), karena penjualan beberapa perusahaan multinasional terkena dampak dari kampanye yang berfokus pada konsumen dan fokus secara geopolitik,” kata CFO Unilever, Fernando Fernandez, Februari lalu, seperti dikutip dari Nikkei Asia.
Sementara itu McDonald’s dalam laporan pendapatannya pada 5 Februari lalu membukukan penjualan yang lemah pada kuartal IV 2023 di divisi bisnis internasionalnya, sebagian karena dampak konflik.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan pemberian hak waralaba McDonald’s yang hanya naik 0,7% secara tahunan, merosot dari pertumbuhan 16,5% pada periode yang sama tahun sebelumnya. “Penurunan ini mencerminkan dampak perang di Timur Tengah,” kata perusahaan dalam laporannya.
“Dampak yang paling nyata yang kami lihat terjadi di Timur Tengah dan di negara-negara muslim seperti Indonesia dan Malaysia,” kata CEO McDonald’s Chris Kempczinski. “Selama konflik dan perang ini masih berlangsung, kami memperkirakan tidak akan ada perbaikan signifikan di pasar-pasar ini”.
Di Malaysia, pemilik waralaba utama Starbucks, Berjaya Food, melaporkan pertumbuhan pendapatan sebesar 38,2% menjadi 182,55 juta ringgit (US$ 38,7 juta atau sekitar Rp 601,4 miliar) pada kuartal kedua yang berakhir pada Desember.
“Penurunan pendapatan ini terutama disebabkan oleh boikot yang sedang berlangsung terkait dengan pertempuran (Israel-Hamas) tersebut,” kata perusahaan.
“Boikot ini akan mempengaruhi penjualan jangka pendek Berjaya Food, dan membebani harga sahamnya sampai seruan boikot hilang,” tulis laporan CGS-CIMB Securities yang berbasis di Malaysia.
Starbucks Malaysia, dalam upaya untuk menghilangkan pandangan seperti itu, pada 28 Februari lalu menegaskan kembali bahwa waralaba lokal tersebut sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan publik Malaysia yakni Berjaya Food.
Perusahaan juga menegaskan bahwa mereka telah secara konsisten menunjukkan kinerjanya yang baik serta komitmennya kepada warga Malaysia yang sudah lebih dari 25 tahun berada di negara tersebut dengan mempekerjakan lebih dari 5.000 orang di 400 toko.
“Kami mengutuk kekerasan, hilangnya nyawa tak berdosa dan semua ujaran kebencian dan senjata,” kata Starbucks Malaysia. “Meskipun pernyataan palsu tersebar melalui media sosial, kami tidak memiliki agenda politik. Kami tidak menggunakan keuntungan kami untuk mendanai operasi pemerintah atau militer di mana pun, dan tidak pernah melakukannya”.
Vincent Tan, pendiri Berjaya, menyerukan diakhirinya boikot, menekankan kepemilikan lokal dan staf Starbucks Malaysia. “Di toko-toko, 80-85% karyawannya adalah Muslim,” katanya. “Boikot ini tidak menguntungkan siapa pun.”
Bukan hanya perusahaan besar saja yang terkena dampaknya. Usaha kecil dan menengah juga merasakan dampak kemarahan konsumen.
Neneng Suria, seorang pemilik toko kelontong yang berbasis di Bogor di pinggiran Jakarta, mengatakan produk yang paling terkena dampaknya adalah air kemasan Aqua yang populer dari raksasa minuman Perancis Danone, dengan permintaan turun sekitar 80% pada Desember.
“Penyimpanan kami kewalahan dengan produk yang tidak terjual,” ujarnya. Meskipun demikian, dia dan keluarganya mendukung boikot tersebut. “Kekhawatiran saya saat itu adalah stok di toko saya, tapi setelah melihat dampaknya… kami tidak peduli lagi”.