Sejarah UU Tapera: Sempat Gagal Disahkan di Era SBY Gara-gara Iuran

ANTARA FOTO/Arnas Padda/rwa.
ilustrasi. Pemerintah mewajibkan semua pekerja termasuk pekerja mandiri untuk membayarkan iuran Tapera sebesar 3% mulai 2027.
Penulis: Agustiyanti
29/5/2024, 07.17 WIB

Presiden Joko Widodo resmi menetapkan aturan yang mewajibkan para pekerja untuk membayarkan iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera sebesar 3% dari upah atau penghasilan mulai 2027.  Meski kewajiban untuk membayarkan iuran baru resmi ditetapkan, aturan yang menaungi yakni Undang-Undang Tapera sudah disahkan sejak 2016. 

Pembahasan UU Tapera diinisiasi sejak periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, RUU yang masuk prolegnas 2014 ini gagal disahkan karena penolakan pemerintah. 

Ketua Pansus RUU Tapera saat itu, Yoseph Umar Hadi mengatakan beleid tersebut ditarik kembali oleh pemerintah. Pemerintah, menurut dia, beralasan masih terjadi perdebatan pada satu pasal yaitu terkait besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta

"Hanya satu pasal, terkait besaran persentase tabungan yang wajib dilakukan oleh peserta," ujar Yoseph, seperti dikutip dari situs DPR. 

Dalam RUU tersebut, besaran iuran Tapera saat itu direncanakan sebesar 3%, terdiri dari 2,5% yang dibayarkan pekerja dan 0,5% yang dibayarkan oleh pemberi kerja. 

Menurut Ketua Panja RUU Tapera saat itu, Refrizal, beleid yang sudah dibahas selama dua tahun tersebut gagal disahkan karena DIM Kemenpera ternyata justru tidak disetujui Kementerian Keuangan. Pembahasan tersendat meski dibawa ke kantor Wakil Presiden Boediono dan berakhir dihentikan.

RUU Tapera akhirnya disahkan menjadi Undang-undang pada oleh Presiden Jokowi pada 24 Maret 2016. UU ini mengatur kewajiban setiap pekerja yang berpenghasilan minimum UMR dan berusia minimal 20 tahun untuk menjadi peserta Tapera. 

Namun demikian, dalam UU tersebut, ketentuan mengenai besaran Simpanan Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah. Adapun besaran iuran Tapera sebenarnya sudah ditetapkan Jokowi sejak 2020 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020. Aturan tersebut juga mengatur pelaksanaannya yakni tujuh tahun setelah aturan diundangkan yakni pada 2027. 

Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menjelaskan, PP Nomor 21 Tahun 2024 yang baru diterbitkan Presiden Jokowi sebenarnya hanya penyempurnaan aturan sebelumnya. PP Nomor 21 Tahun 2024 hanya mengubah satu pasal terkait besaran simpanan yakni terkait pihak-pihak yang berhak menentukan perkalian dari besaran iuran Tapera. 

Dalam PP Nomor 25 Tahun 2020, kewenangan tersebut diberikan kepada Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi keuangan, Menteri Ketenagakerjaan dengan berkoordinasi bersama Menteri PUPR. Sementara dalam PP Nomor 21 Tahun 2024, kewenangan tersebut diberikan kepada Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Komisioner BP Tapera berkoordinasi dengan dengan Menteri PUPR.

Pengusaha dan Buruh Tolak Iuran Tapera

Meski UU sudah disahkan satu windu lalu, penolakan terkait kewajiban pembayaran iuran Tapera masih datang dari pengusaha dan buruh. Keduanya menilai, iuran ini akan menjadi beban tambahan.

“Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, Apindo dengan tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut,” kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani.

Shinta mengatakan, Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada presiden mengenai Tapera. Menurut dia, serikat buruh/pekerja juga menolak pemberlakuan program Tapera. 

Shinta menjelaskan, para pengusaha pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja. Namun, menurut dia, program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh.

Ia menilai PP yang baru disahkan pada 20 Mei 2024 sebenarnya menduplikasi program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek. "Tambahan beban bagi pekerja 2,5% dan pemberi kerja 0,5% dari gaji tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan," kata dia.

Menurut pandangan Apindo, pemerintah seharusnya dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Sesuai aturan, maksimal 30% atau Rp 138 triliun dari total JHT sebesar Rp 460 triliun dapat di gunakan untuk program  perumahan Pekerja. A

Apindo menilai aturan Tapera terbaru semakin menambah beban baru, baik untuk pemberi kerja maupun pekerja. Saat ini, menurut dia, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja mencapai 18,24-19,74%. 

Sementara itu, penolakan dari kalangan buruh antara lain disampaikan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia atau KASBI dan Serikat Pekerja Nasional atau SPN.

Ketua Konfederasi KASBI, Sunarno, mengatakan aturan ini diputuskan secara sepihak tanpa mengajak diskusi kaum buruh. Mereka juga menyebut, iuran Tapera 2,5% yang dibebankan dari gaji buruh menambah banyak potongan penghasilan mereka. 

Ia pun pesimistis  potongan gaji ini dapat langsung menjamin buruh mendapat rumah dalam waktu cepat. “Pemerintah seharusnya fokus untuk pengadaan rumah bagi buruh dari anggaran negara, bukan malah memotong gaji buruh yang kecil sebagai modal investasi atau bahkan dengan mengotak-atik dana BPJS,” kata Sunarno.

Sunarno juga menggarisbawahi banyaknya potongan terhadap gaji para buruh saat ini. Ia mencatat terdapat potongan BPJS Kesehatan sebesar 1%, Jaminan Hari Tua 2%, Jaminan Pensiun 1%, PPH 21 sebesar 5% dari PTKP, potongan koperasi, dan ditambah Tapera 2,5% setelah diimplementasikan. 

Ketua Serikat Pekerja Nasional atau SPN Iwan Kusmawan menyampaikan hal yang sama. Ia menganggap Tapera adalah sebuah pemaksaan, meski bentuknya adalah tabungan. “Orang kan macam-macam. Bagaimana kalau misalnya orang tidak mau karena sudah punya rumah? Itu kan jadi masalah juga,” ujarnya dalam sambungan telepon dengan Katadata, Selasa (28/5).


Reporter: Amelia Yesidora