PT Pupuk Indonesia optimistis industri pupuk akan tetap mendapatkan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau harga gas murah pada tahun depan. Industri pupuk dianggap komponen penting untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Direktur Utama Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi mengaku telah menyampaikan fakta dan realita terkait dampak kenaikan harga gas ke industri pupuk. Ia optimistis Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mendukung kelanjutan kebijakan HGBT untuk industri pupuk.
"Saya tidak tahu apa yang akan diputuskan Kementerian ESDM, tapi saya yakin pernyataan Menteri ESDM tegas untuk mendukung ketersediaan gas bagi industri pupuk," kata Rahmad di Gedung DPR, Rabu (19/6).
Kebijakan HGBT akan berakhir pada Desember 2024. HGBT mewajibkan harga gas senilai US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor manufaktur, yakni pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca lembaran, oleokimia, dan sarung tangan karet.
Rahmad menyampaikan, industri pupuk membutuhkan harga gas di bawah US$ 6 per MMBTU agar harga pupuk untuk petani lebih baik. Namun, Rahmad mengakui penetapan HGBT angka US$ 6 per MMBTU telah melalui proses yang panjang dan menjadi titik keseimbangan.
Ia menekankan agar HGBT tidak lebih dari US$ 6 per MMBTU. Subsidi pupuk yang dikucurkan pemerintah dapat membengkak jika HGBT untuk industri pupuk lebih besar dari US$ 6 per MMBTU.
"HGBT senilai US$ 6 per MMBT sudah terbukti bagus untuk industri pupuk untuk pertanian di dalam negeri, sebaiknya dilanjutkan," ujarnya.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebelumnya mengatakan, perlu evaluasi mengenai kelanjutan kebijakan harga gas bumi tertentu atau HGBT untuk sektor industri.
“Kami lihat tingkat produksi dan harga gasnya seperti apa,” kata Deputi Bidang Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (14/6).
Pembahasan mengenai kelanjutan HGBT masih terus berjalan dalam bentuk diskusi secara rutin.Namun, Kurnia enggan merinci isi diskusi dan evaluasi yang dilakukan pemerintah dan SKK Migas.
Selain keberlanjutan kebijakan, Kurnia juga turut membahas tentang ketersediaan gas yang sempat disebut PT Pertamina Gas Negara Tbk (PGN) sebagai kendala. “Potensi gas di hulu masih ada dan tersedia, suplainya juga masih banyak,” ujarnya.