PT Kimia Farma Tbk berencana menutup lima pabrik obat untuk meningkatkan efisiensi operasional perusahaan. BUMN Farmasi beralasan, utilisasi 10 pabrik yang mereka miliki saat ini rata-rata di bawah 40%.
Direktur Utama Kimia Farma David Utama mengakui, operasional Kimia Farma saat ini sangat tidak efisien. Pabrik-pabrik yang dimiliki Kimia Farma selama ini tak pernah memiliki utilisasi atau daya pakai melebihi 40% sehingga beban operasional perusahaan.
"Kalau kita tidak mengambil keputusan untuk merasionalisasi pabrik, tanggung jawab kami jajaran direksi semakin berat karena membiarkan masalah berat ke depan," ujar David dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Jumat (21/7).
David menjelaskan, kendala yang dihadapi perusahaan saat ini sangat besar. Menurut dia, salah satu masalah adalah biaya operasional yang terlalu besar karena pabrik-pabrik beroperasi dengan utilisasi rendah.
"Oleh karena itu, step pertama yang kami ambil adalah rasionalisasi pabrik. Ini kenyataan pahit yang harus kami tempuh," kata dia.
Namun demikian, ia mengakui tak mudah untuk merasionalisasi atau menutup pabrik. Ia perlu memindahkan produksi sejumlah obat agar operasonal lebih efiine. "Ini sudah kami jalankan, memang tidak mudah karena obat-obat ini untuk dipindahkan butuh sekitar 2 tahun," kata dia.
David mengatakan, terdapat pabrik Kimia Farma yang kini tak beroperasi lagi karena rasionalisasi. Namun demikian, perusahaan belum menetapkan, apakah perusahaan akan melepas aset tersebut. "Apakah pabrik akan dijual, ini analisis berikutnya," kata dia.
Rugi Rp 1,8 Triliun
Berdasakan bahan paparan Holding BUMN Farmasi di DPR, Kimia Farma mencatatkan rugi mencapai Rp 1,8 triliun pada tahun lalu dibandingkan pada 2022 yang rugi Rp 126 miliar. Kerugian ini tak sejalan dengan kinerja penjualan yang naik dari Rp 9,233 triliun pada 2022 menjadi Rp 9,66 triliun.
Lantaran menanggung rugi besar, aset Kimia Farma turun dari Rp 20,37 triliun menjadi Rp 17,5 triliun, demikian pula dengan ekuitas yang turun dari Rp 8 triliun menjadi RP 6,4 triliun. Sementara itu, liabilitas naik dari Rp 10,41 triliun menjadi Rp 11,9 triliun.