Imbas Pelemahan Rupiah, Asosiasi Mamin dan Kemenperin Berbeda Pendapat

Katadata | Donang Wahyu
Ilustrasi produk makanan dan minuman.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Sorta Tobing
25/6/2024, 14.27 WIB

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan pelemahan rupiah belum berdampak ke harga jual tapi telah berimbas pada meningkatnya biaya operasi pabrik.

Sebab, kebutuhan industri makanan dan minuman (mamin) terhadap gandum, susu, garam, dan gula saat ini masih bergantung pada impor. Angkanya mencapai US$ 9 miliar per tahun.

Pelemahan rupiah sebesar 6,5% secara tahun berjalan membuat nilai impor keempat komoditas tersebut berpotensi menjadi Rp 500 triliun. "Daya tahan masing-masing perusahaan berbeda tapi perkiraan saya industri makanan dan minuman hanya bisa bertahan mungkin tiga hingga empat bulan," ujar Adhi dalam sebuah acara di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (25/6). 

Kondisi itu diperburuk dengan peningkatan daya beli masyarakat saat ini tidak sejalan dengan pelemahan rupiah. Karena itu, pelaku industri menyerap pelemahan rupiah tersebut dengan mengurangi margin.

Di sisi lain, penurunan nilai mata uang Garuda memperburuk kondisi biaya logistik di pasar ekspor. Alhasil, negara-negara tujuan ekspor yang permintaanya naik hingga empat kali lipat sejak awal tahun justru menunda pembelian.

Ia mendorong pemerintah untuk segera mengintervensi pergerakan rupiah dan mencegah pelemahannya hingga menembus Rp 16.500 per dolar AS. "Jangan sampai jebol lagi. Kalau angka Rp 16.500 per dolar AS lewat, sangat berat sekali bagi industri," ujarnya.  

Kementerian Perindustrian berpendapat berbeda. Direktur Jenderal Industri agro Kemenperin Putu Juli Ardika menyebut pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat belum berdampak pada industri makanan dan minuman. Pelaku industri ini masih memiliki stok sebelum rupiah melemah. 

Kondisi tersebut justru dapat menjadi momentum program substitusi impor. "Contoh yang dilakukan saat ini adalah pengurangan konsumsi premiks fortifikan," kata dalam acara yang sama.

Sebagai informasi, premiks fortifikan adalah bahan tambahan dalam tepung terigu yang memberikan zat gizi mikro, seperti zat besi, asam folat, vitamin B1 dan B2. Mayoritas kebutuhan premiks fortifikan kini masih bergantung pada impor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume impor zat ini sepanjang tahun lalu mencapai 1.901 ton. Pemasoknya adalah Cina, India, Malaysia, Selandia Baru, dan Singapura. Sebanyak 71,4% atau 1.357 ton premiks fortifikan di dalam negeri berasal dari Malaysia.

Pemerintah telah mengidentifikasi pabrik fortifikan di dalam negeri yang dapat memasok kebutuhan industri makanan. "Saat ini ada pelaku-pelaku usaha yang bisa memasok ke industri sesuai dengan spesifikasi," ujar Putu.

Reporter: Andi M. Arief