Kemenperin: Cukai Minuman Berpemanis akan Memukul Industri Kecil

ANTARA FOTO/Cahya Sari/sgd/foc.
Ilustrasi. Kemenperin menghitung, kenaikan harga sebesar 1% akan mengikis permintaan produk MBDK hingga 1,09%.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
1/7/2024, 17.16 WIB

Kementerian Perindustrian beda sikap dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan soal rencana penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan atau MBDK pada tahun ini. Kemenperin tak setuju kebijakan tersebut diterapkan karena dapat memukul Industri Kecil dan Menengah di sektor makanan dan minuman.

Direktur Jenderal Industri Agro Putu Juli Ardika menjelaskan, elastisitas harga produk MBDK terhadap konsumsi di dalam negeri cukup rendah. Ia menjelaskan, kenaikan harga sebesar 1% akan mengikis permintaan produk MBDK hingga 1,09%. Adapun  mayoritas penurunan permintaan akan dialami oleh Industri Kecil dan Menengah.

"Sementara itu, industri makanan dan minuman olahan berskala besar bisa dengan cepat melakukan adaptasi dalam implementasi cukai MBDK," kata Putu dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR, Senin (1/7).

Putu memaparkan, produk MBDK cukup inelastis lantaran sekitar 65% dari total konsumen produk tersebut adalah golongan kelas menengah ke bawah yang sensitif akan harga. Alhasil, kenaikan harga dapat menyebabkan penurunan permintaan yang signifikan.

Ia memaparkan, nilai cukai MBDK yang diusulkan saat ini adalah Rp 1.771 per liter. Angka tersebut didapatkan setelah menghitung rata-rata negara anggota ASEAN yang telah menerapkan cukai MBDK.

Negara yang telah menerapkan cukai MBDK adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Filipina, Kamboja, dan Laos. Nilai cukai MBDK tertinggi diterapkan di Brunei Darussalam senilai Rp 4.538 per liter, sedangkan terendah ditemukan di Laos senilai Rp 247 per liter.

Cukai tidak akan diterapkan pada MBDK yang mengandung gula tanpa Bahan Tambahan Pangan pemanis dengan kadar maksimal 6 gram per 100 mililiter. Sementara itu, semua MBDK dengan Bahan Tambahan Pangan pemanis akan dikenakan cukai MBDK.

Putu menelaah penerapan cukai MBDK senilai Rp 1.771 per liter akan mendorong harga produk minuman hingga 15%. Dengan demikian, permintaan pada industri minuman berpotensi susut sampai 16,35% saat cukai MBDK diterapkan.

Cukai Minuman Berpemanis Tidak Efektif


Putu berargumen penerapan cukai MBDK tidak efektif dalam menekan angka penderita Diabetes Melitus dan obesitas. Hal tersebut disampaikan setelah melihat dampak implementasi cukai gula pada tiga negara, yakni Meksiko, Inggris, dan Australia.

Putu menyampaikan Meksiko telah menerapkan cukai gula sejak 2014, namun angka obesitas terus naik sejak 2017. Selain itu, angka obesitas di Inggris memuncak pada 2017 setelah implementasi cukai gula pada 2016.

"Tingkat obesitas masih meningkat di Meksiko walaupun ada cukai gula, demikian juga di Inggris maupun di Australia," ujarnya.

Putu memaparkan kontribusi MBDK terhadap total kalori masyarakat di dalam negeri hanya 1,83%. Selain itu, telah ada konsensus yang menyatakan obesitas dan diabetes disebabkan oleh beberapa hal, seperti gaya hidup, pola konsumsi, tingkat aktivitas fisik.

Di sisi lain, Putu mengatakan implementasi cukai MBDK akan berdampak pada pedagang tradisional kecil, salah satunya pedagang warung. Sebab, 60%-70% penjualan MBDK terjadi melalui saluran tradisional.

"Produk minuman berkontribusi sekitar 40% dari keuntungan mereka. Penerapan cukai akan menaikkan harga produk dan mengurangi pendapatan pedagang kecil," katanya.

Oleh karena itu, Putu menguraikan implementasi cukai MBDK berpotensi mengurangi pendapatan negara secara keseluruhan. Untuk diketahui, Kementerian Kesehatan menghitung implementasi cukai MBDK dapat meningkatkan pendapatan negara setidaknya Rp 3,4 triliun per tahun.

Reporter: Andi M. Arief