Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mendorong pemerintah menerapkan bea masuk anti-dumping atau BMAD terhadap keramik impor dari Cina hingga 200%. Produk dari Negeri Panda tersebut terbukti melakukan praktik dumping.
"Kami tidak anti dan tidak melarang impor keramik dari Cina tapi kami melawan praktik unfair trade, yakni tindakan dumping yang disertai predatory pricing," kata Ketua Umum Asaki Edy Suyanto dalam keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id, Kamis (4/7).
Bukti itu tercantum dalam surat hasil penyelidikan Komisi Anti Dumping Indonesia (KADI) beberapa waktu lalu. Dalam surat yang diterima Asaki tertulis, produk keramik Cina melakukan dumping antara 100,12% sampai 199,88% dari harga normal.
Dengan kata lain, harga keramik impor dari Tiongkok lebih murah hingga dua kali lipat dari harga sebenarnya. Praktik curang ini telah menggerus industri keramik nasional hingga menyebabkan penurunan kapasitas produksi dan laba.
Asaki mendata utilisasi industri keramik pada paruh pertama tahun ini hanya 63%. Angka tersebut lebih rendah dari capaian Januari hingga Juni 2023 sebesar 69%.
Dalam laporan KADI, praktik dumping keramik Tiongkok juga terjadi di Amerika Serikat, Meksiko, dan India. Alhasil, ketiga negara tersebut telah memberlakukan bea masuk anti dumping atau BMAD antara 74,5% hingga 451,6%.
Karena itu, Edy mendorong pemerintah untuk menerapkan BMAD pada keramik impor dari Cina hampir 200%. Secara rinci, bea masuk untuk kelompok berkepentingan kooperatif senilai 100,12% sampai 155%, sedangkan kelompok tidak kooperatif sebesar 199%.
Aturan bea masuk anti dumping itu harus segera diterbitkan. Sebab, oknum importir akan memanfaatkan waktu antara penerbitan hasil penelitian KADI dan aturan BMAD untuk mengimpor keramik dari negara pusat manufaktur dunia tersebut secara masif.
Kehadiran BMAD akan memberikan pabrikan keramik domestik untuk berkompetisi secara imbang dengan produk impor di dalam negeri. Dengan demikian, proses investasi baru ke industri keramik akan semakin cepat. "Beberapa pelaku utama importir telah melaporkan ke Asaki untuk membantu pabrik keramik di Indonesia, seperti di Subang, Batang, dan Kendal," katanya.
Edy mencatat Indonesia merupakan produsen keramik terbesar nomor lima di dunia dengan kapasitas terpasang sekitar 625 juta meter persegi. Total tenaga kerja yang diserap lebih dari 150 ribu orang dengan tingkat komponen dalam negeri di atas 80%.
Penerapan BMAD, harapannya, dapat membuat industri keramik nasional pulih atau mencapai utilisasi pada 2022 sebesar 75% atau pada 2012-2024 yang menembus 90%.
Beberapa tahun terakhir, Eddy mengatakan, industri keramik domestik babak belur karena digempur produk dari Cina. Berdasarkan data Trend Economy, nilai impor keramik dari Cina pada 2011 hingga 2016 tidak pernah menembus US$ 300 juta per tahun.
Kondisi itu berubah sejak 2017, angkanya menembus US$ 300 juta per tahun. Lalu mencetak rekor pada 2021 senilai US$ 502,47 juta dan pada 2022 di US$ 695, 44 juta. Dampaknya, neraca perdagangan keramik Indonesia dengan Tiongkok menjadi defisit.
Eddy berpendapat, defisit itu tidak seharusnya terjadi karena seluruh jenis keramik nasional dapat dipenuhi dari dalam negeri. Selain itu, 80% total produk keramik lokal telah memiliki sertifikat tingkat komponen dalam negeri (TKDN).