Kementerian Perindustrian menyebut penyebab terpuruknya industri keramik di Indonesia adalah harga gas yang tinggi dan masuknya produk impor dengan harga murah.
Pejabat Fungsional Pembina Industri Direktorat Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Non Logam (ISKPBGNL) Kemenperin Ashady Hanafie mengatakan keramik merupakan salah satu sektor industri yang masuk dalam prioritas karena memiliki daya saing tinggi.
"Ubin keramik sudah lama memiliki permasalahan berat. Pada 2018 sudah suffer (menderita) itu," kata Ashandy di Jakarta, Selasa (16/7), dikutip dari Antara.
Ia menyampaikan industri keramik, kaca, dan semen menggunakan gas dalam pembuatannya. Ketika harga gas naik, maka keramik dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor.
"Begitu (harga gas) naik, kami drop karena daya saing rendah, kalah bersaing harga, kemudian impor masuk," ucapnya.
Berdasarkan catatan Direktorat ISKPBGNL, utilitas kapasitas produksi industri keramik pernah berada di level 90%. Namun, setelah harga gas meningkat dan masuknya impor dengan harga murah, produktivitas ubin keramik turun ke tingkat 69% pada akhir 2023.
Angka tersebut pun terus menurun hingga Januari 2024. Pada akhir tahun ini produktivitas berada pada level 64% dan Februari 61%.
Pemerintah menetapkan harga gas bumi untuk industri sebesar 6 dolar AS per juta British Thermal Unit (MMBTU). Beban para pelaku industri keramik saat ini bertambah berat dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
"Karena semua penggunaan bahan bakar menggunakan dolar AS maka semakin naik, ya naik juga (harganya)," kata Ashady.
Volume impor ubin keramik disebut terus mengalami peningkatan sejak 2019, dari 75,6 juta meter persegi menjadi 93,4 juta meter persegi pada 2023, meski sempat turun pada angka 70,2 juta meter persegi pada 2022.
Produk ubin keramik dari Cina diberikan insentif tax refund (pengembalian pajak) sebesar 14% oleh pemerintah Beijing.
Ashady menyebutkan lonjakan impor ini berpengaruh pada tujuh perusahaan industri ubin keramik yang akhirnya berhenti produksi. Lima di antara perusahaan tersebut merupakan penerima fasilitas harga gas bumi tertentu (HGBT).
Karena itu, Kemenperin mendukung rekomendasi Komite Antidumping Indonsia (KADI) untuk menerapkan bea masuk antidumping (BMAD) kepada produk ubin keramik dari Tiongkok.
Sebagai informasi, KADI mengeluarkan rekomendasi BMAD terhadap produk keramik CIna selama lima tahun dengan besaran tarif antara 100,12% hingga 199,88%.