Wall Street Jatuh, Kekhawatiran Resesi Ekonomi AS Bikin Investor Panik

Antara
Ilustrasi - Para pialang memperhatikan layar monitor pergerakan saham di Bursa Efek New York, Wall Street, Amerika Serikat. REUTERS/Brendan McDermid/aa.
6/8/2024, 06.36 WIB

Indeks bursa Amerika Serikat (AS) Wall Street jatuh pada perdagangan Senin (5/8). Kekhawatiran investor terhadap kondisi ekonomi AS yang mungkin berujung resesi memicu aksi jual besar-besaran di pasar global.

Dow Jones Industrial Average mencatat hari terburuknya dalam hampir dua tahun terakhir, turun 1.033,99 poin atau 2,6%  ke level 38.703,27. Nasdaq Composite anjlok 3,43% dan ditutup pada 16.200,08, sedangkan S&P 500 turun 3% dan berakhir di level 5.186,33. Penurunan indeks S&P 500 secara harian ini juga merupakan yang terbesar sejak September 2022. 

Pasar saham Jepang juga mencatatkan penurunan terburuknya sejak Black Monday di Wall Street pada 1987, hingga memicu kekhawatiran tentang gejolak pasar global. 

Kekhawatiran terhadap resesi di AS menjadi penyebab utama kehancuran pasar global kemarin. Ini awalnya  dipicu oleh laporan pekerjaan Amerika pada Juli yang mengecewakan pada Jumat (2/5) lalu. Investor juga khawatir Federal Reserve terlambat dalam memangkas suku bunga untuk mengatasi perlambatan ekonomi, terutama setelah bank sentral memilih untuk mempertahankan suku bunga pada level tertinggi dalam dua dekade terakhir pada minggu lalu.

Aksi Jual Saham Teknologi

Investor terus menjual saham-saham teknologi besar dan kecerdasan buatan yang sebelumnya menjadi primadona. Harga saham-saham teknologi berkinerja buruk pada hari Senin:

  • Nvidia anjlok 6,4%, tergelincir dari level tertinggi dalam 52 minggu menjadi hampir 29%.
  • Apple merosot 4,8% setelah Berkshire Hathaway milik Warren Buffett memangkas separuh kepemilikannya di produsen iPhone tersebut.
  • Saham-saham lain yang berjatuhan termasuk Tesla terkikis 4,2% dan Super Micro Computer turun 2,5%. 

Pasar Saham Jepang Anjlok

Saham-saham Jepang di Asia semalam mengkonfirmasi pasar bearish karena para investor Asia-Pasifik pertama kali bereaksi terhadap buruknya angka pekerjaan AS sejak Jumat.  

Nikkei anjlok 12,4% ditutup pada level 31.458,42, menandai hari terburuknya sejak "Black Monday" di Wall Street tahun 1987. Penurunan sebesar 4.451,28 poin juga merupakan penurunan terbesar dalam hal poin sepanjang sejarah Nikkei. Pada Black Monday, Dow jatuh lebih dari 22% dalam satu hari.

Pasar global lainnya juga sangat terdampak, yakni:

  • Imbal hasil obligasi AS jatuh karena kekhawatiran resesi dan investor beralih ke obligasi sebagai aset yang aman secara global. Harga obligasi bergerak berbanding terbalik dengan imbal hasil. Imbal hasil obligasi acuan bertenor 10 tahun pada Senin (5/8) mencapai 3,78%, level terendah sejak Juni 2023.
  • Bitcoin anjlok dari hampir US$ 62.000 pada hari Jumat menjadi sekitar US$ 54.000 pada hari Senin.
  • Indeks Stoxx 600 Eropa turun 2,2%.
  • Indeks Volatilitas Cboe terakhir berada di sekitar 38, setelah sebelumnya naik hingga 65, level tertingginya sejak awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Indeks ini, yang dikenal sebagai "pengukur ketakutan" Wall Street, didasarkan pada harga pasar untuk opsi di S&P 500.

Sejalan dengan hal itu, ada juga pembicaraan tentang penurunan aktivitas "carry trade" yen, yang semakin memperburuk penurunan pasar global setelah Bank of Japan menaikkan suku bunga minggu lalu. Kenaikan suku bunga ini mengurangi perbedaan suku bunga antara Jepang dan AS, sehingga nilai yen menguat terhadap dolar. Hal ini menghentikan praktik pedagang yang biasanya meminjam yen yang murah untuk membeli aset lain di seluruh dunia.

Kepala Strategi Investasi di CFRA Research Sam Stovall mengatakan, pasar tampak tenang padahal sebenarnya sangat rentan terhadap penurunan. Menurut Stovall, banyak orang merasa terlalu aman, padahal pasar sebenarnya bisa sangat rentan terhadap koreksi. Buruknya data ekonomi dan ketenagakerjaan AS dari yang diharapkan telah menjadi pemicu bagi koreksi ini.

“S&P 500 saat ini turun sekitar 8,5% dari level tertingginya baru-baru ini,” kata Stovall dikutip CNBC, Selasa (6/8).

Presiden Fed Chicago, Austan Goolsbee, tidak membuat janji spesifik, tetapi dia mengatakan bahwa suku bunga saat ini mungkin terlalu tinggi. Jika keadaan ekonomi memburuk secara serius, dia mengatakan bank sentral akan mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya.

Reporter: Nur Hana Putri Nabila