Konflik Geopolitik dan Banjir Impor Disebut Biang Kerok Gelombang PHK Buruh
Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK para buruh yang terjadi beberapa bulan terakhir disebut akibat kondisi geopolitik. Situasinya bertambah runyam karena Indonesia kebanjiran produk dari luar negeri. Dampaknya, pabrikan lokal tidak dapat bersaing dengan produk impor.
"Akhirnya, utilisasi pabrik berkurang tajam karena konsumen memiliki barang yang lebih murah," kata ekonom dari Institute for Development of Economic Finance (Indef) Nailul Huda kepada Katadata.co.id, Kamis (15/8).
Nailul mengatakan produk impor sangat memukul pabrikan tekstil dan produk tekstil nasional. PHK menjadi jalan tercepat untuk mengurangi biaya produksi pabrikan tersebut. "Itu yang saya lihat kenapa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) ini banyak sekali terjadi PHK," ujarnya.
Kementerian Ketenagakerjaan mendata total pekerja yang terkena PHK pada Januari hingga Juli 2024 mencapai 42.863 orang. Sebanyak 22.356 orang atau sekitar 52% dari pekerja tersebut berasal dari industri pengolahan.
Senada, pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Tadjudin Noer Effendi mengatakan gelombang PHK sudah terjadi sejak 2023. Awalnya karena terdampak perang Ukraina dan Rusia.
Perang tersebut memicu ketidakstabilan politik di negara tujuan ekspor TPT, yakni Uni Eropa dan Amerika Serikat. Alhasil, permintaan di kedua pasar tersebut menurun dan memicu gelombang PHK sejak Januari 2023 sampai saat ini.
Pada saat yang sama, pabrikan TPT baru memasuki masa pemulihan dari pandemi Covid-19. Lalu, gempuran baru datang dengan banjir produk tekstil dari luar negeri. Konsumen lalu lebih memilih produk impor karena murah dan daya beli belum membaik.
Alhasil, pabrikan TPT terpaksa memangkas biaya produksi dengan melakukan PHK. "Biaya produksi yang paling mudah dikurangi adalah buruh," kata Tadjudin.
Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk memberikan pabrikan insentif agar dapat bertahan hidup. Dengan demikian, pabrikan tetap dapat menjaga retensi tenaga kerja. "Itu pernah dilakukan pemerintah saat pandemi Covid-19," ujarnya.
Akibat UU Cipta Kerja
Di sisi lain, Nailul berpendapat Undang-undang Cipta Kerja membuat pabrikan lebih mudah melakukan PHK dengan dalih pemindahan pabrik. Metode tersebut terjadi pada pemindahan pabrik TPT dari Banten dan Jawa Barat ke Jawa Tengah.
Strategi tersebut membuat PHK terjadi dan belum dapat terserap kembali di pasar tenaga kerja. Berdasarkan data Kemenaker, jumlah tenaga kerja ter-PHK di Banten pada Januari sampai Juli 2024 mencapai 6.349 orang, sedangkan 4.782 orang atau 75,31% berasal dari industri pengolahan.
Total pekerja ter-PHK di Jawa Barat mencapai 5.567 orang dengan 44,6% berasal dari industri pengolahan. "Jadi, UU Cipta Kerja tidak memicu investasi baru yang masuk di industri padat karya, tapi pemindahan pabrik dari Banten dan Jawa Barat ke Jawa Tengah," ujarnya.
Di samping itu, Nailul berargumen investasi baru yang masuk utamanya berada di sektor tersier. Padahal, mayoritas industri yang dibutuhkan tenaga kerja adalah industri sekunder maupun primer.
Nailul mencontohkan investasi yang dilakukan oleh Starlink di dalam negeri yang menacpai Rp 30 miliar. Namun pembangunan PT Starlink Services Indonesia oleh Elon Musk hanya menyerap tiga tenaga kerja.
"Karena itu, kami harapkan UU Cipta Kerja bisa dicabut, karena tidak terbukti ampuh menciptakan tenaga kerja. Harusnya, UU Cipta Kerja menciptakan lapangan kerja, bukan sebaliknya," katanya.