Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI menilai, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 atau UU Cipta Kerja menjadi salah satu penyebab gelombang PHK alias Pemutusan Hubungan Kerja belakangan ini.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, 42.863 karyawan di-PHK selama Januari - Juli. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, gelombang PHK memang disebabkan oleh melemahnya permintaan di pasar lokal maupun global.
Akan tetapi, UU Cipta Kerja mempermudah perusahaan memecat karyawan. UU Cipta Kerja membuat pesangon yang harus dibayarkan oleh perusahaan menjadi lebih murah ketimbang saat aturan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku.
"Pasar domestik dan ekonomi dunia yang tidak baik bertemu dengan kemudahan pesangon murah. Jadi, pelaku usaha berpikir untuk langsung melakukan PHK," kata Said kepada Katadata.co.id, Kamis (15/8).
UU Cipta Kerja memungkinkan pelaku usaha hanya membayarkan 50% dari pesangon yang seharusnya didapatkan pekerja yang terkena PHK atas nama efisiensi. Sementara itu, UU Ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan membayar pesangon dua kali lipat dari yang seharusnya, jika alasan PHK yakni efisiensi.
Selain itu, UU Cipta Kerja mempersingkat proses PHK. Dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja dan pemberi kerja harus berunding setidaknya dua kali sebelum membawa perundingan ke pengadilan.
"Dalam UU Cipta Kerja, perundingan PHK boleh langsung dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial," katanya.
Oleh karena itu, Said mendorong pemerintah mencabut UU Cipta Kerja untuk menahan gelombang PHK pada paruh kedua tahun ini.
Presiden Partai Buruh itu menilai, pencabutan UU Cipta Kerja penting agar pelaku usaha tidak cepat memutuskan PHK dalam rangka efisiensi.
Ia juga mendorong pemerintah mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Said menilai beleid ini menjadi akar banjirnya produk impor asal Cina ke dalam negeri.