Ancaman Banjir Baja Cina, Pengamat: Pemerintah Perlu Proteksi Pasar Indonesia
Hampir tiga perempat produsen baja di Cina merugi pada semester pertama 2024. Perlambatan sektor konstruksi menyebabkan permintaan domestik negara tersebut anjlok.
Di sisi lain, para produsen baja enggan mengerem produksinya. Hal ini membuat ekspor baja Tiongkok mencapai titik tertinggi dalam delapan tahun terakhir. Angkanya diperkirakan mencapai 100 juta ton pada 2024, cukup membangun 2 ribu jembatan Golden Gate.
"Ekspor baja telah mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah tahun ini," kata konsultan Mysteel, Vivian Yang, melansir dari Financial Times pada awal bulan ini. Kondisi tersebut akan membuat dunia dibanjiri baja dari Negeri Panda.
Penurunan permintaan domestik di Cina, yang menyumbang lebih dari 50% produksi baja global, telah menyebabkan produsennya mengekspor ke negara Asia Tenggara dan semakin banyak ke Eropa. Harga baja dunia pun ikut tertekan.
Untuk melindungi produk dalam negerinya, Amerika Serikat telah melipatgandakan tarif baja Cina pada tahun ini. Uni Eropa melakukan penyelidikan antidumping terhadap produk baja berlapis timah Tiongkok. Kanada mengumumkan tarif baru untuk baja dari Negeri Manufaktur.
Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan Cina juga akan banyak mengekspor bajanya ke Indonesia. Pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk memproteksi pasar domestik.
"Jadi perlindungan impor terkait dengan trade remedies menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan apabila tidak ingin terjadi peningkatan impor baja dari Tiongkok," ucap Andry.
Trade remedies merupakan istilah dalam perdagangan internasional. Instrumen ini dipakai suatu negara untuk melindungi industri domestik dari kerugian akibat praktik perdagangan tidak sehat atau unfair trade. Cara yang dipakai dapat berupa bea masuk anti-dumping (BMAD), bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP), atau safeguards.
Perlindungan menjadi penting di tengah Indonesia mengalami penurunan kapasitas baja. "Industri saat ini belum mencapai kapasitas ideal masing-masing produk," katanya.
Contoh produk tersebut adalah wire rod, bar, section, CRC section, coated sheet, pipe, dan karbon HRC yang masih 80% dari kapasitasnya. “Ini menurut saya akan berbahaya ya kalau produk baja Cina masuk ke Indonesia,” ujar Andry.
Dampak ke Hilirisasi Nikel
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan krisis baja Cina dapat berdampak besar pada industri nikel di Indonesia.
"Jika industri baja Cina melemah atau gagal, permintaan nikel dari Indonesia dapat turun dan menyebabkan kelebihan pasokan," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (27/9).
Apabila hal itu terjadi, harga nikel global akan turun dan berimbas negatif ke proyek hilirisasi domestik. "Neraca perdagangan kita juga akan terdampak," kata Julian.
Sebanyak 84,75% produk hilirisasi nikel Tanah Air diekspor ke Tiongkok. Barang tambang ini menjadi bahan baku utama produk baja antikarat atau stainless steel. Cina banyak memproduksi produk tersebut dan sebagian besar nikelnya berasal dari Indonesia.
Penggunaan nikel dalam produk stainless steel karena sifatnya yang tahan korosi. Pengolahannya dapat menghasilkan produk konstruksi, otomotif, peralatan rumah tangga, dan manufaktur.
Pemerintah sedang mencari strategi agar produk hilirisasi nikel tidak hanya menjadi bahan baku stainless steel. "Sektor baterai kendaraan listrik (EV) adalah game changer yang bisa menggeser arah pasar,” ujarnya.
Strategi mitigasi tengah pemerintah siapkan melalui pengembangan pasar-pasar hilir baru. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar baja Cina.
"Pemerintah akan fokus pada pengembangan industri pendukung sel baterai, seperti anoda, elektrolit, separator dan lain-lain,” ucap Julian.