Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyatakan perseteruan nikel dengan Uni Eropa di Organisasi Dagang Dunia atau WTO akan rampung. Salah satu sebabnya adalah dominasi Indonesia dalam memasok nikel di pasar global atau hingga 60%.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan dominasi nikel tersebut disebabkan didorong oleh posisi Indonesia di pasar global. Oleh karena itu, Seto menyampaikan pemerintah sedang melakukan negosiasi dengan Uni Eropa terkait permasalahan nikel.
"Dalam kasus gugatan nikel di WTO, kami sedang berdiskusi dengan Uni Eropa untuk mengambil jalan damai. Alhasil, Uni Eropa akan mencabut gugatannya dan menyelesaikan masalah nikel melalui kesepakatan," kata Seto di Indonesia Future Policy Dialogue Katadata, Rabu (9/10).
Walau demikian, Seto menilai kondisi geopolitik akan tetap menjadi tantangan terbesar dalam tahap hilirisasi mineral selanjutnya. Seto memproyeksikan industri baterai listrik akan terfragmentasi, tapi tetap terbelah menjadi dua kubu, yakni Cina dan Amerika Serikat.
Sementara itu, Seto menilai pengembangan teknologi produksi dan pasar baterai listrik berada di kubu yang berbeda. "Indonesia mendapatkan keseimbangan dalam 10 tahun terakhir, sehingga kita bisa mendapatkan keuntungan dari dua kubu tersebut," katanya.
Seto mengatakan salah satu komoditas terpenting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik adalah katoda. Secara rinci, katoda adalah sumbu negatif dalam semua jenis baterai kendaraan listrik.
Seto mencatat kapasitas produksi katoda di dalam negeri kini mencapai 80.000 ton per tahun. Angka tersebut akan naik menjadi 160.000 ton per tahun pada awal tahun depan.
"Dengan demikian, sudah tidak jauh lagi Indonesia dapat memiliki ekosistem bateria listrik yang kompetitif. Di luar Cina, Indonesia kini memiliki ekosistem baterai kendaraan listrik berbasis lithium paling lengkap di dunia," katanya.
Seto menemukan kapasitas produksi katoda di Jepang hanya 10.000 ton per tahun, sementara kapasitas di Korea Selatan sekitar 40.000 ton per tahun. Oleh karena itu, Seto mengklaim ekosistem industri baterai listrik nasional telah menyalip Negeri Sakura dan Negeri Ginseng.
Namun Seto menilai pembentukan fasilitas produksi baterai FLP baru terbentuk sekitar 2,5 tahun ke depan atau pada awal 2027. Dengan demikian, Indonesia dapat menyasar semua pasar baterai listrik secara global.
Setoo menjelaskan baterai MNC digunakan di negara yang bersuhu dingin, seperti Eropa dan Amerika Serikat. Sementara itu, baterai LFP digunakan pada negara dengan suhu tropis, seperti Asia.
"Kalau kebijakan industri konsisten, ini akan terwujud. Kita akan jadi powerhouse yang cukup kuat selain Cina untuk ekosistem baterai," ujarnya.
Liputan khusus Arah Pemerintahan Baru ini didukung oleh: