Pemerintah akan Pangkas Ekspor CPO Demi Kejar Target Bahan Bakar B50

ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/tom.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyampaikan ketersediaan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) masih sangat mencukupi untuk bahan baku biodiesel 50 persen (B50) dengan tingkat produksi CPO di Indonesia pada tahun 2024 sekitar 46 juta ton, sedangkan yang dibutuhkan untuk pembuatan B50 hanya 5,3 juta ton.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
28/10/2024, 14.43 WIB

Pemerintah berencana meningkatkan campuran minyak sawit mentah atau CPO dalam solar menjadi 50% atau B50. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, ekspor CPO ke pasar global akan dikurangi untuk memenuhi target tersebut.

Amran belum dapat menjelaskan kapan program B50 akan dijalankan. Ia hanya menekankan program B40 akan dimulai pada Januari 2024 dari B35 saat ini. "Sesuai arahan presiden, kami akan memanfaatkan semaksimal mungkin CPO nasional bila perlu," kata Amran di kantornya, Senin (28/10).

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki mendata produksi CPO hingga Agustus 2024 susut 4,86% secara tahunan menjadi 34,52 juta ton. Sementara itu, volume ekspor tercatat turun 10,11% menjadi 19,69 juta ton.

Di sisi lain, konsumsi CPO di dalam negeri naik 1,94% menjadi 15,57 juta ton. Konsumsi CPO untuk kebutuhan biodiesel naik 9,42% menjadi 7,42 juta ton.

Pada tahun lalu, 58,7% dari total produksi atau 32,21 juta ton CPO lokal dikirim ke pasar ekspor.  Karena itu, Amran menilai produksi CPO lokal dinilai dapat mendukung program B50.

Namun, Amran memastikan volume ekspor CPO tidak akan berkurang jauh dari posisi saat ini. "Tidak usah khawatir terkait ketersediaan CPO untuk B50, Indonesia adalah produsen CPO nomor satu di dunia. Cukup lah CPO di dalam negeri," katanya.

Ketua Umum Gapki Eddy Martono sebelumnya optimistis pemerintah tidak akan memaksakan program B50 dalam waktu dekat. Sebab, tren produksi CPO saat ini melemah lantaran 46% pohon CPO di dalam negeri ada dalam kategori tua atau lebih dari 26 tahun.

Eddy mengakui peningkatan campuran biodiesel pada akhirnya akna mengurangi volume ekspor CPO nasional. Eddy menghitung peningkatan campuran biodiesel menjadi B40 akan mengurangi volume ekspor hingga 2 juta ton pertahun, sedangkan B50 akan membuat volume ekspor kembali susut 6 juta ton per tahun.

Ia menghitung penerapan program B60 akan mengurangi volume ekspor CPO nasional hingga 22 juta ton. Pada saat yang sama, rata-rata volume ekspor nasional adalah 30 juta ton.

Eddy menilai peningkatan program biodiesel menjadi B50 akan kontraproduktif saat ini. Sebab, pendanaan program biodiesel saat ini didukung oleh Pungutan Ekspor yang bergantung pada performa ekspor.

Ia mengaku telah menyampaikan data tersebut kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, pemerintah memahami kondisi industri CPO saat ini. Namun Eddy belum dapat memastikan apakah B50 akan diterapkan dalam waktu dekat atau tidak.

"Pemerintah sangat mengerti dan saya meyakini pemerintah akan mendukung kami untuk mengejar program Peremajaan Sawit Rakyat atau PSR," kata Eddy.

Program PSR adalah mencabut pohon sawit tua di perkebunan rakyat dan menanam kembali pohon sawit baru. Eddy mengatakan butuh waktu setidaknya tiga tahun agar pohon sawit muda produktif menghasilkan CPO.

Selain itu, Eddy menilai peningkatan program biodiesel menjadi B50 akan mengurangi devisa negara. Eddy mencatat rata-rata devisa hasil ekspor CPO per tahun mencapai US$ 39 miliar atau menjadi kontributor terbesar kedua setelah batu bara.

"Kalau program B50 dipaksakan, volume ekspor CPO akan terus turun. Dengan kata lain, kontribusi devisa ekspor CPO bisa turun di bawah nikel," katanya.





Reporter: Andi M. Arief