Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia atau AEPI menilai dugaan kasus korupsi impor gula mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong disebabkan oleh blunder yang dilakukan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Sebab, PPI menggunakan jasa pabrik gula rafinasi untuk mengubah Gula Kristal Mentah atau GKM impor menjadi Gula Kristal Putih atau GKP pada 2016.
Pengamat Pertanian AEPI Khudori mengatakan GKP hasil produksi pabrik gula rafinasi tidak bisa langsung dijual lantaran tidak memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia atau SNI.
Padahal, sertifikat SNI bisa langsung didapatkan GKP jika diproduksi oleh pabrik penggilingan tebu yang akhirnya menghasilkan GKP. "GKP tersebut akhirnya baru bisa disalurkan pada Mei 2016, sedangkan distribusi gula nasional pada Januari-April 2016 jauh dari kebutuhan pasar," kata Khudori dalam keterangan resmi, Rabu (30/10).
Khudori menjelaskan impor gula memang dibutuhkan saat itu karena stok gula pada awal 2016 hanya 816.000 ton. Angka tersebut setara dengan kebutuhan gula nasional selama 3,42 bulan atau habis sebelum Mei 2024.
Pada saat yang sama, tidak ada kegiatan produksi gula di dalam negeri pada Januari-Mei 2024. Oleh karena itu, Tom memutuskan untuk mengimpor 105.000 ton GKM yang rencananya diubah menjadi GKP.
Akan tetapi, Khudori menyampaikan tidak ada pabrik gula yang dapat mengolah seluruh GKM tersebut dengan cepat. Sebab, tidak ada pabrik penggilingan tebu yang beroperasi hingga awal Juni, sedangkan PPI bukan BUMN penggilingan tebu.
"Dugaan saya, Tom Lembong disalahkan karena menunjuk PPI yang bukan BUMN produsen gula. Saya menduga langkah itu ditempuh Tom Lembong karena tidak ada pabrik gula BUMN yang dalam proses giling," ujarnya.
Oleh karena itu, Khudori mempertanyakan langkah Tom yang tidak langsung mengimpor GKP dari luar negeri pada 2016. Sebab, minimnya pasokan gula di pasar membuat harga gula yang dinikmati konsumen tinggi dan memuncak hingga Rp 16.266 per kilogram pada Juli 2016.
Untuk diketahui, Harga Eceran Tertinggi GKP saat itu adalah Rp 13.000 per kg. Dengan kata lain, minimnya kondisi gula membuat tumbuh lebih dari Rp 3.000 per kg atau Rp 25%.
Dengan demikian, Khudori menilai minimnya pasokan gula setiap awal tahun memberikan keuntungan yang menggiurkan bagi pihak yang terlibat impor dan produksi gula. Khudori menduga kasus tersebut tidak eksklusif terjadi pada kepemimpinan Tom Lembong di Kementerian Perdagangan.
"Oleh karena itu, sebaiknya Kejaksaan Agung memeriksa semua kasus yang pernah ada, bukan hanya kasus Tom Lembong," katanya.
Volume Impor Gula RI
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata volume impor gula konsisten di atas empat juta ton sejak 2013. Adapun volume impor pada 2016 mencapai 5,02 juta ton atau naik 15,13% secara tahunan.
Adapun volume impor terbesar selama 10 tahun terakhir memasuki masa puncak pada 2022 yang mencapai 6,01 juta ton. Sementara volume impor gula terbesar terjadi pada 2019 mencapai 4,09 juta ton.
Thailand tercatat menjadi pemasok gula terbesar ke dalam negeri pada 2017-2023, kecuali pada 2021. Saat itu, sebagian besar gula impor datang dari Australia atau sejumlah 1,33 juta ton.
Secara agregat, tiga negara pemasok gula terbesar ke dalam negeri adalah Thailand, Brasil, dan Australia. Ketiga negara tersebut umumnya berkontribusi rata-rata 87% atau 4,38 juta ton pada 2017-2023.