Tren Kenaikan Harga dan Kemenangan Trump Pengaruhi Prospek Industri Sawit 2025

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tempat penampungan hasil (TPH) kelapa sawit Desa Lampisi, Tanjung Jabung Barat, Jambi, Sabtu (7/9/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
11/11/2024, 06.42 WIB

Kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menciptakan ketidakpastian baru bagi kebijakan energi global. Hal ini diperkirakan akan berdampak besar pada pasar minyak sawit dunia, termasuk Indonesia. 

Analis dari Bloomberg, Alvin Thai, mengatakan meskipun AS bukan konsumen utama minyak sawit, kebijakan energi yang berubah-ubah berpotensi menggeser arah permintaan minyak nabati global. Menurut Alvin perubahan kebijakan ini dapat memengaruhi industri minyak sawit dalam jangka panjang.

Menurut Alvin, di Amerika Serikat diesel berbasis petroleum saat ini masih merupakan bahan bakar transportasi terbesar kedua dengan pangsa penggunaan mencapai 22%. Namun, penggunaan bahan bakar terbarukan seperti renewable diesel dan biodiesel mulai meningkat. 

Alvin mengatakan, tren ini bahkan diperkirakan akan membawa konsumsi bahan bakar berbasis terbarukan melampaui diesel pada tahun 2024. “Konsumsi renewable diesel dan biodiesel bisa mencapai 4,5 juta barel per hari pada 2024,” ujar Alvin dalam forum Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) di Bali akhir pekan lalu. 

Peningkatan ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan AS terhadap bahan bakar fosil, sekaligus meningkatkan permintaan minyak nabati, termasuk minyak sawit. Namun, di sisi lain, hal ini juga bisa memicu persaingan harga dengan minyak nabati lainnya, terutama jika harga CPO Indonesia tetap tinggi. 

Saat ini, bahan baku biodiesel dan renewable diesel di AS masih didominasi oleh minyak kedelai (44%), minyak daur ulang dan lemak (33%), minyak jagung (15%), serta minyak kanola (5%). Selain faktor bahan baku, kebijakan kredit pajak 45Z di AS yang menggunakan jejak karbon sebagai tolok ukur juga berpotensi menghambat ekspor minyak sawit Indonesia. 

Skema ini menempatkan minyak sawit pada posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan Used Cooking Oil (UCO) yang memiliki jejak karbon lebih rendah. “Dengan jejak karbon minyak sawit mencapai 4 kilogram CO2 per kilogram, ini membuat minyak sawit Indonesia kurang kompetitif,” ujar Alvin. 

Dari sisi domestik, Indonesia juga terus memperkuat upaya transisi energi terbarukan melalui program pencampuran biodiesel. Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa Indonesia berhasil menghemat devisa lebih dari USD 7,9 miliar melalui adopsi B35 pada 2023. 

“Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan mendukung keberlanjutan pertanian lokal,” ujar Sudaryono di forum yang sama. 

Mesk begitu, ia menilai pengembangan energi terbarukan juga menghadapi tantangan besar, terutama dari segi ketahanan pangan dan pasokan minyak sawit. Peningkatan pencampuran biodiesel dari B35 menjadi B50 yang direncanakan pemerintah Indonesia, menurut Sudaryono, merupakan langkah signifikan. 

“Tetapi, kita perlu memerhatikan dampaknya pada ketahanan pangan serta pasokan minyak sawit, terutama untuk ekspor,” ujar Sudaryono lagi. 

Pertemuan IPOC 2024 (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/agr)

Stagnasi Produktivitas Sawit

Di tengah optimisme akan peningkatan permintaan global terhadap CPO, Dorab Mistry dari Godrej International Ltd menyoroti adanya risiko stagnasi produksi yang dapat merugikan daya saing. Menurut Dorab, produksi minyak nabati secara keseluruhan mengalami peningkatan, tetapi produksi minyak sawit justru stagnan karena tantangan domestik, seperti peremajaan lahan dan ketersediaan bibit unggul. 

“Stagnasi produksi CPO ini menyebabkan harga menjadi tidak kompetitif di pasar global,” ujar Dorab dalam forum IPOC. 

Selain itu, faktor iklim juga berpengaruh besar terhadap harga minyak nabati dunia. Ia menambahkan bahwa kondisi cuaca di Amerika Selatan dapat mendorong harga minyak nabati naik, terutama jika ada keterlambatan dalam implementasi kebijakan biofuel. 

Di sisi lain, harga minyak kedelai diperkirakan akan tetap tinggi seiring dengan tingginya permintaan biodiesel di AS.

Direktur Eksekutif ISTA Mielke GmbH, Thomas Mielke, menyampaikan prediksi bahwa harga CPO akan terus meningkat pada 2025 seiring dengan meningkatnya permintaan biofuel dan stagnasi produksi. Namun, kenaikan harga ini bisa berdampak negatif terhadap permintaan, karena industri biofuel di AS dan Eropa menghadapi tekanan biaya yang semakin tinggi. 

“Jika Indonesia memaksakan program B40, harga minyak nabati seperti CPO dan soya akan meningkat setidaknya 10%-15%,” ungkap Mielke.

Harga CPO yang semakin tinggi juga memicu kekhawatiran tentang daya saing minyak sawit sebagai minyak nabati di pasar global. Managing Director Glenauk Economics, Julian McGill, mengatakan bahwa kini CPO telah masuk kategori minyak nabati premium bersama rapeseed. 

Menurut McGill, kenaikan harga ini mencerminkan minimnya ketersediaan CPO di pasar, yang menyebabkan pasokan minyak sawit dunia stagnan. “Ekspor minyak sawit mencapai puncaknya pada 2019 dan tidak pernah kembali ke level tersebut,” ungkapnya.

Tantangan ini semakin terlihat ketika dibandingkan dengan kinerja ekspor minyak kedelai. Ekspor minyak kedelai global bahkan telah melampaui ekspor CPO, dengan mencapai 40 juta ton pada 2023. 

Sementara itu, Managing Director Transgraph, Nagaraj Meda, mencatat bahwa permintaan global terhadap CPO dalam dekade terakhir mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan. Menurutnya, pada 2014, minyak kelapa sawit memiliki pangsa pasar 45% dari total minyak nabati dunia, namun kini hanya tersisa sekitar 37%.

Meda menambahkan bahwa di pasar India, yang merupakan tujuan utama ekspor CPO Indonesia, penyerapan CPO hanya meningkat tipis dari 8,24 juta ton pada 2012-2013 menjadi 9 juta ton pada 2023-2024. Sebaliknya, permintaan minyak kedelai justru melonjak tiga kali lipat dalam periode yang sama.