Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah mengembangkan pupuk dari rumput laut yang nantinya daat dimanfaatkan untuk kebutuhan 100 ribu hektar lahan. Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Budi Sulistyo menyampaikan bahan baku yang digunakan adalah rumput laut jenis Sargassum Sp, Ulva Lactuca, Eucheuma Spinosum, dan Eucheuma Cottoni.
“Ini dikembangkan sebagai bio-fertilizer. Produksi yang kami terima dari pelaku usaha rumput laut itu 3.600 ton cair per tahun. Ini dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pupuk pada 100 ribu hektare lahan,” kata Budi dalam acara Pangan Biru untuk Swasembada Pangan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Senin (11/11).
Budi mengatakan, pembuatan pupuk dari rumput laut merupakan salah satu bentuk hilirisasi guna mempercepat swasembada pangan. Dia menyebut dengan jumlah keperluan pupuk di Indonesia mencapai 13 juta ton, sementara pemenuhan pupuk konvensional sekitar 50%, dia berharap kebijakan swasembada ini menjadi pemicu dorongan pembuatan pupuk rumput laut.
Budi menyampaikan, produksi pupuk rumput laut ini berasal dari pelaku usaha binaan KKP di Bali. “Hasil pupuknya sudah ada di pasar, sudah ada izinnya, dan sudah edar,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Budi menyebut produk dari usaha binaan ini juga sudah melewati uji coba 131 titik pupuk yang ada di Bali dan Sulawesi. Namun, Budi tidak merinci data hasil uji coba tersebut.
Dia hanya menyebutkan sudah ada hasil produktivitas dari pupuk rumput laut, dan sudah kandungan gula yang dihasilkan jika pupuk ini dimanfaatkan untuk penanaman padi. Budi mengatakan, kedepannya KKP akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian terkait pupuk rumput laut.
“Pastinya kami akan mempromosikan. Ini adalah salah satu sumber pupuk yang bisa dimanfaatkan,” ucapnya.
Hilirisasi rumput laut jadi bioavtur
Menteri Investasi dan Hilirisasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani sebelumnya mengungkapkan rencana pemerintah mengembangkan rumput laut menjadi produk bioavtur.
Rencana ini menurut Rosan, merupakan bagian dari target hilirisasi energi yang dicanangkan pemerintah yang telah dibicarakan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Kami sudah ada gambaran awalnya jadi kami sudah sampaikan dan kita juga memastikan potensi prioritasnya apa," ujar Rosan di Jakarta, Minggu (3/11).
Roslan mengakui pemerintah telah mengantongi riset awal pemanfaatan rumput laut menjadi bioavtur dari salah satu asosiasi. Hasil riset itu selanjutnya akan dibahas secara intensif dengan kementerian terkait.
Ia mengatakan, dengan potensi produksi rumput laut hasil budidaya yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia hilirisasi akan berjalan lebih optimal. Saat ini rumput laut banyak dikembangkan di daerah seperti Bali, Nusa Tenggara Timur serta beberapa wilayah di Indonesia bagian timur.
Menurut Rosan pengembangan rumput laut menjadi bioavtur akan memberi nilai tambah kepada masyarakat. Namun demikian, ia mengakui komoditas rumput laut saat ini belum memiliki bentuk usaha secara korporasi. Hal inilah selanjutnya yang akan menjadi perhatian pemerintah.
Rosan mengatakan saat ini Indonesia menjadi produsen rumput laut tropis terbesar di dunia. Sehingga dari sisi produksi atau hulu mampu memenuhi kebutuhan hilirisasi atau pengembangan produk.
"Sangat cukup (produksi). Kita untuk rumput laut ini, kita nomor dua penghasil terbesar di dunia. Tetapi untuk rumput laut tropis kita nomor satu terbesar di dunia," Ujar Rosan lagi.
Berdasarkan catatan KKP, hingga kini potensi budidaya rumput laut masih terbuka luas. Hal ini karena pemanfaatan lahan untuk budidaya baru terpakai 0,8 persen atau seluas 102.254 hektare dari total potensi luas lahan sebesar 12 juta hektare.
Pada 2022, budidaya rumput laut Indonesia menghasilkan 9,23 juta ton yang didominasi varian Cottonii sebagai bahan karagenan. Selanjutnya ada jenis rumput laut Sargassum, Gracilaria, Haliminea, dan Gelidium amanzii.