Rugikan Peternak Sapi, Perjanjian Dagang Bebas RI-Australia Bisa Dikaji Ulang
Kementerian Perdagangan menyatakan, perjanjian Perdagangan Bebas atau FTA dengan Australia dan Selandia baru dapat dikaji ulang. Kementerian Koperasi sebelumnya berencana mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang perjanjian dagang dengan kedua negara ini karena dinilai melonggarkan keran impor susu dan merugikan peternak sapi perah domestik.
Indonesia memiliki hubungan FTA dengan kedua negara tersebut melalui ASEAN sejak 2009. Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag Fajarini Puntodewi mengatakan, pengkajian ulang FTA dengan Australia dan Selandia Baru dimungkinkan. Namun, Punto belum dapat memastikan kapan penyesuaian perjanjian tersebut akan dilakukan.
"Seperti perjanjian dagang dengan Jepang, itu telah kami kaji ulang. Namun, ada masa untuk mengubah perjanjian tersebut," kata Punto di Jakarta Pusat, Selasa (19/11).
Berdasarkan dokumen FTA antara ASEAN dengan Australia dan Selandia Baru, penyesuaian dokumen tersebut dapat dilakukan pada 2016. Penyesuaian selanjutnya akan dilakukan setiap lima tahun sekali.
Penyesuaian terhadap FTA ASEAN dengan Australia dan Selandia Baru hanya dapat dilakukan pada 2028. Punto tidak memberikan komentar lebih lanjut terkait langkah pemerintah selanjutnya terkait tingginya volume impor susu sapi dari kedua negara tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan Kementerian Perdagangan sedang mengevaluasi aturan regulasi impor susu. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan pengimpor susu terbesar adalah Selandia Baru dan Australia.
"Dua negara ini memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia, yang menghapuskan bea masuk pada produk susu sehingga membuat harga produk susu mereka setidaknya 5% lebih rendah dibandingkan dengan harga pengekspor produk susu global lainnya,” ujarnya.
Akibatnya, industri pengolahan susu lebih memilih mengimpor susu bubuk (skim) daripada susu segar. Para peternak sapi perah di Indonesia rugi karena harga susu segar produksi mereka menjadi sangat rendah, yaitu hanya Rp 7.000 per liter, di bawah harga ideal Rp 9.000 per liter.
Kemenkop juga akan meminta Kementerian Perdagangan untuk meninjau kembali soal pengenaan bea masuk 0% terhadap produk susu impor, yang saat ini didominasi oleh Selandia Baru dan Australia.
Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat, impor susu sepanjang Januari hingga Oktober 2024 mencapai 257,3 ribu ton, naik 7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Impor susu paling banyak berasal dari Selandia Baru.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mencatat, Indonesia mengimpor susu dari Selandia Baru mencapai 126,84 ribu ton atau 49,30% dari total impor susu. Indonesia juga banyak mengimpor susu dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Mayoritas atau 49,3% susu impor berasal dari Selandia Baru yang mencapai 126.840 ton. Capaian tersebut diikuti oleh Amerika Serikat sejumlah 45.180 ton dan Australia sekitar 38.190 ton.
BPS mencatat ada beberapa jenis susu yang diimpor negara-negara tersebut ke Indonesia. Namun sebagian besar jenis susu yang diimpor ke Indonesia dalam bentuk milk cream dan bubuk. "Jadi bukan susu segar. Susu segar hanya sedikit sekali proporsinya," kata Amalia.
Berdasarkan bahan paparan BPS, volume susu yang diimpor dalam bentuk cream dan bubuk dengan kandungan lemak tidak melebihi 1,5% pada periode Januari-Oktober 2024 mencapai 159,84 ribu ton. Angka ini mencakup 62,12% dari total keseluruhan jenis impor susu.
Selain itu, impor juga banyak dilakukan pada jenis susu cream dalam bentuk bubuk dengan kandungan lemak melebihi 1,5% jumlahnya mencapai 58,14 ribu ton. Angka ini mencakup 22,59 dari total susu impor pada periode Januari-Oktober 2024.