Putar Suara Burung di Kafe dan Hotel Bisa Kena Royalti, Ini Penjelasan LMKN

ANTARA/Agatha Olivia Victoria
Komisioner LMKN Dedy Kurniadi (kedua dari kanan) beserta Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkum Razilu (tengah) saat ditemui usai acara pelantikan Komisioner LMKN periode 2025-2028 di Jakarta, Jumat (8/8/2025).
9/8/2025, 13.04 WIB

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa pemutaran rekaman suara burung di ruang publik komersial tetap dapat dikenakan royalti jika terdapat produser rekaman tersebut.

“Dikenakan royalti karena ada pemegang hak terkait karya rekaman suara itu,” ujar Komisioner LMKN, Dedy Kurniadi, usai pelantikan Komisioner LMKN periode 2025–2028 di Jakarta, Jumat (8/8).

Dedy mengakui belakangan sejumlah pelaku usaha mengganti pemutaran musik atau lagu menjadi suara alam atau burung. Menurutnya, perubahan ini sejalan dengan upaya LMKN meningkatkan penarikan royalti demi kesejahteraan pencipta lagu dan pemegang hak terkait.

“Siapa masyarakat Indonesia yang tidak ingin penciptanya sejahtera? Itu kuncinya,” ujarnya.

Menurutnya, selama ini masyarakat kerap menikmati lagu ciptaan anak bangsa maupun dari negara lain secara tidak semestinya. Karena itu, LMKN bekerja untuk melindungi kepentingan pencipta melalui penegakan hukum pidana.

Dedy juga menyoroti rendahnya kesadaran membayar royalti di Indonesia. Total royalti musik yang terkumpul di Tanah Air hanya sekitar Rp75 miliar, jauh di bawah Malaysia yang mencapai Rp600 miliar, atau negara lain yang bisa menembus Rp1 triliun.

“Ini berkaitan dengan masih kurangnya edukasi masyarakat di Indonesia. Kami perlu mengupayakannya sejak awal, agar masyarakat secara sadar menghargai para pencipta lagu dan pemegang hak terkait, karena mereka juga berhak sejahtera,” ujar Dedy.

Penjelasan DJKI

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan bahwa semua pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik komersial, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel wajib membayar royalti.

“Langganan pribadi seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music tidak mencakup hak pemutaran untuk tujuan komersial di ruang publik,” kata Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkumham, Agung Damarsasongko.

Ia menjelaskan, layanan streaming bersifat personal. Namun, ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, hal itu termasuk penggunaan komersial sehingga memerlukan lisensi tambahan melalui mekanisme resmi.

Pembayaran royalti, lanjutnya, dilakukan melalui LMKN sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Antara