Pabrik Gula Terancam Setop Giling Tebu, Bapanas Usulkan Pembatasan Impor Etanol
Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengusulkan agar Indonesia membatasi impor etanol. Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi mengatakan hal ini agar penyerapan tebu berjalan lancarm sehingga pabrik gula bisa melakukan penggilingan.
“Mohon dipertimbangkan, supaya tebunya masih bisa diserap terus, (pabrik) bisa menggiling terus, jadi tetesnya itu harus keluar, salah satunya untuk etanol. Tolong bisa juga diukur importasi etanol,” kata Arief saat ditemui di Graha Mandiri, Kamis (11/9).
Arief mengatakan etanol merupakan hasil pengolahan tetes yang berasal dari produk samping (by product) yang diolah dari tebu di pabrik gula. Mayoritas hasil tetes tebu atau molases digunakan untuk etanol.
“Kalau etanolnya diimpor, maka tetesnya tidak laku, masih penuh di penyimpanan. Kalau sudah penuh pabrik gula tidak bisa menggiling tebu,” ujarnya.
Dia mengatakan Menteri Perdagangan akan mendalami lebih lanjut terkait usulan tersebut, termasuk membuat formula tentang impor etanol. Arief menyebut di kesempatan ke depan, dirinya akan membahas lebih lanjut terkait tetes tebu dan hasil pengolahannya menjadi etanol.
“Saya tadi juga sampaikan, nanti kami harusnya bahas lebih detail, karena tadi kan lebih umum,” ucapnya.
Produksi Pabrik Gula Berpotensi Berhenti
Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia atau Apsendo menyatakan Peraturan Menteri Perdagangan No. 16 Tahun 2025 menjadi penyebab utama terhentinya proses produksi pabrik gula dalam waktu dekat. Sebab, kebijakan tersebut membuat industri etanol berhenti menyerap limbah dari produksi gula nasional, yakni tetes tebu atau molases.
Ketua Apsendo, Izmirta Rachman menjelaskan pihaknya mengolah sekitar 40% dari volume produksi tahunan tetes tebu mencapai 1,6 juta ton per tahun. Menurutnya, tetes tebu kini hanya dapat diserap oleh pasar domestik lantaran permintaan dari negara tujuan ekspor molases lokal susut, yakni Thailand dan Filipina.
Pada saat yang sama, Rachman menyampaikan penerbitan Permendag No. 16 Tahun 2025 menciptakan ketidakpastian pasar dengan dihapusnya Perizinan Impor dalam proses impor etanol. Untuk diketahui, sebagian besar mesin produksi dalam pabrik gula lokal memiliki tangki molases yang terintegrasi dengan alat produksi utama.
"Sudah tetes tebu susah diekspor, kemungkinan besar tetes tebu tidak akan diserap industri dalam negeri karena potensi banjir etanol impor. Akhirnya, proses giling tebu tidak lancar dan target swasembada gula tidak tercapai," kata Rachman di Jakarta Selatan,Rabu (27/8).
Rachman mencatat berhentinya penyerapan oleh pabrik etanol pada bulan ini membuat harga tetes tebu jatuh dari hingga Rp 3.000 per liter tahun lalu menjadi sekitar Rp 1.000 per liter saat ini. Menurutnya, kondisi tersebut disebabkan oleh tata kelola niaga industri etanol yang terbalik, yakni pelonggran pada ekspor tetes tebu dan impor etanol.
Karena itu, Rachmat menyarankan agar pemerintah mulai membatasi tetes tebu yang masuk ke pasar global. Setidaknya ada dua skema yang ditawarkan Apsendo, yakni kewajiban pasar domestik (DMO) atau bea keluar.
"Saat ekspor dibatasi, industri etanol nasional memiliki bahan baku yang cukup," katanya.
Di samping itu, Rachman menemukan sebagian produsen ethanol kini mulai berencana beralih menjadi importir ethanol dalam waktu dekat. Sebab, Permendag No. 16 Tahun 2025 akan membuka pasar domestik terhadap ethanol asing yang harganya lebih rendah sekitar 20% dari etanol lokal.
"Pabrik etanol kini menjaga diri dan bahkan berpikir mengubah model bisnis jadi importir. Sebab, pasar etanol nasional akan dikuasai oleh pedagang atau pelanggan kami saat ini dengan langsung melakukan impor," katanya.