Harga Makin Murah, Perusahaan Batu Bara Akui PLTS Jadi Ancaman Industri
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengkhawatirkan perkembangan teknologi energi berkelanjutan. Pasalnya, pengusaha batubara menilai harga energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) telah setara dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia mencatat harga listrik dari PLTS sebesar US$ 4 sen per kilowatt hour (kWh), dan bisa mencapai US$ 8 sen per kWh jika dilengkapi fasilitas penyimpanan. Adapun harga listrik yang dinikmati konsumen dari PLTU saat ini berkisar US$ 4 sen hingga US$ 6 sen per kWh.
“Saya punya keyakinan PLTS itu jadi ancaman buat kami. Selain itu, kami saat ini berkompetisi dengan sumber energi baru terbarukan lain, tidak hanya energi matahari,” kata Ketua Umum APBI Priyadi dalam acara bertajuk Energy Insight Forum, Rabu (17/9).
Priyadi menuturkan meningkatnya adopsi energi baru terbarukan (EBT) di Cina membuat perusahaan batubara nasional perlahan mengalihkan pasar ekspornya ke negara-negara di Asia Tenggara. Menurutnya, adopsi EBT oleh negara anggota ASEAN masih rendah.
Menurut perhitungan CarbonBrief dari data resmi Cina—seperti National Bureau of Statistics (NBS), National Energy Administration (NEA), serta China Electricity Council (CEC)—penurunan porsi batu bara dalam sistem kelistrikan Negeri Panda disebabkan pertumbuhan energi bersih yang luar biasa.
Berdasarkan data resmi dari ketiga lembaga tersebut, kapasitas pembangkitan listrik tenaga surya Cina melonjak 41 terawatt jam (TWh), dari 53 TWh pada Mei 2023 menjadi 94 TWh pada Mei 2024. Lonjakan ini menjadi peningkatan terbesar dalam pembangkitan listrik di Cina.
Target Bauran EBT di ASEAN
Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendata target bauran EBT di ASEAN sebanyak 23% pada 2025. Namun, saat ini ASEAN baru mencatatkan 19 persen energi terbarukan dalam bauran energinya.
“Pengembangan EBT di negara anggota ASEAN itu tidak bisa sak dheg sak nyet atau tidak bisa seketika. Jadi, saya kira industri batubara masih optimistis terkait permintaan batubara, baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Priyadi.
Di sisi lain, ia menyampaikan batubara masih berkontribusi besar dalam penyediaan energi nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Pemerintah, kata Priyadi, akan membangun PLTU baru berkapasitas 6,3 gigawatt, atau sekitar 9 persen dari pembangkit baru hingga 2034.
Priyadi juga menilai kebutuhan batubara di dalam negeri belum akan turun dalam waktu dekat. Pasalnya, mayoritas pemerintah daerah penghasil batubara belum menyiapkan lapangan kerja pengganti jika EBT diadopsi penuh.
Selain itu, tambang batubara berkontribusi besar pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Belum pernah ada pihak yang memikirkan transisi ekonomi terkait penghentian aktivitas tambang batubara di daerah,” ujar Priyadi.