Antara Merek dan Harga, Mengapa Generasi Muda Masih Setia Beli Baju Bekas?

ANTARA FOTO/Naufal Khoirulloh/fzn/nz
Calon pembeli melihat pakaian bekas yang dijual di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (24/10/2025). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan pihaknya akan melarang praktik impor bal pakaian bekas ilegal dalam karung atau balpres karena dapat merugikan negara dan beresiko terhadap kesehatan sekaligus sebagai upaya pemerintah untuk melindungi industri tekstil dalam negeri.
30/10/2025, 11.56 WIB

Di tengah hiruk-pikuk Pasar Senen, Jakarta Pusat, remaja bernama Dwika (17) tampak membolak-balik tumpukan baju di salah satu kios. Tangannya cekatan, matanya awas mencari label merek terkenal.

Kejeliannya dalam memilih pakaian diperlukan saat itu. Pasalnya, barang yang dia buru bukanlah baju baru, melainkan bekas atau thrifting. Bagi Dwika, thrifting bukan sekadar membeli pakaian bekas, tapi soal kejelian menemukan kualitas terbaik dengan harga miring. 

“Kalau nyarinya bisa, bisa dapat yang lebih bagus,” ujarnya sambil tersenyum saat ditemui di Pasar Senen Blok III, Selasa (28/10).

Fenomena berburu pakaian bekas atau thrifting memang tak pernah sepi peminat, terutama di kalangan muda. Harga yang jauh lebih murah dibanding produk baru membuatnya tetap menarik, apalagi jika bisa membawa pulang pakaian bermerek internasional dengan kondisi masih layak pakai.

“Kita pengen kualitas bagus tapi murah, karena gak mampu beli yang baru,” kata Reh Karo, 38 tahun, pria asal Jambi yang juga mengunjungi pasar tersebut.

Selain faktor harga, daya tarik utama thrifting juga datang dari keinginan tampil unik. Barang yang ditemukan tak selalu ada duanya, membuat banyak anak muda merasa punya style khas yang tak bisa ditiru. Tak heran jika thrifting kini bukan sekadar aktivitas belanja, tapi juga bentuk ekspresi diri.

Namun di balik tren itu, muncul dilema antara preferensi konsumen dan kebijakan pemerintah. Di satu sisi, thrifting membantu masyarakat menengah ke bawah mendapatkan produk berkualitas dengan harga terjangkau. Di sisi lain, praktik impor pakaian bekas kerap dianggap mengancam industri tekstil dan produk lokal.

Menurut Dwika, pemerintah seharusnya tidak menghapus keberadaan pasar thrfiting. Namun, pemerintah bisa membuat regulasi sehingga penjualan bekas bisa menguntungkan semua pihak.

"Misalnya barang thrifting dikasih pajak, yang kemudian digunakan untuk membantu industri dalam negeri," ujarnya.

PHK Industri Tekstil

Maraknya impor baju bekas di Indonesia dituding menjadi biar kerok banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di industri tekstil nasional tengah. Pada pertengahan 2024, sekitar 13,8 ribu pekerja dirumahkan dari 10 perusahaan.

Enam perusahaan diketahui melakukan penutupan pabrik, sedangkan empat lainnya beralasan melakukan efisiensi.  Jumlah PHK hingga pertengahn 2024 jauh lebih besar dari 2023 yang menimpa sekitar 7.500 pekerja.

Berdasarkan catatan Katadata, Gelombang PHK di industri tekstil ini merupakan rangkaian dari permasalahan yang dihadapi industri padat karya tersebut. Industri tekstil belum mampu pulih dari krisis akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan penurunan permintaan.

Begitu pula dengan dampak konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan turunnya permintaan di negara-negara pembeli.  Pelemahan nilai tukar rupiah, juga berperan besar dalam lesunya industri tekstil. Pasalnya, kondisi ini membuat ongkos belanja bahan baku menjadi lebih mahal. Belum lagi industri juga mesti bersaing dengan produk impor, terutama dari Cina.

Menkeu Purbaya Siapkan Aturan Baru

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana menerbitkan aturan khusus yang bisa diterapkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk menindak para pelaku impor pakaian bekas ilegal. Dia bahkan telah mengantongi sejumlah nama importir baju bekas. 

“Saya harapkan mereka (importir baju bekas) mulai hentikan itu karena ke depan kita akan tindak,” ujar Purbaya saat ditemui di Menara Bank Mega, Senin (27/10).  

Purbaya menegaskan, impor balpres atau pakaian bekas yang dikemas padat dalam karung merupakan aktivitas ilegal. Selama ini DJBC rutin menindak praktik tersebut, namun ia menilai sanksi yang berlaku masih belum memberikan efek jera. Ke depan, pemerintah akan menerapkan sanksi berlapis yaitu barang dimusnahkan, pelaku didenda dan dipenjara, masuk daftar hitam serta dilarang impor seumur hidup.

“(Aturannya) terbit sebentar lagi,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa regulasi tersebut akan segera diumumkan. DJBC saat ini terus melakukan pemeriksaan di lapangan. Jika ditemukan impor pakaian bekas, penindakannya akan dilakukan dengan cara berbeda agar industri dalam negeri kembali hidup.

“Barangnya dimusnahkan terus orangnya dipenjara. Saya bilang saya rugi sudah ngeluarin uang buat musnahin barang, terus ngasih makan orang lagi,” kata Purbaya.

Nasib Pedagang Baju Bekas di Dalam Negeri Menjawab kekhawatiran pedagang, Purbaya menjelaskan bahwa kebijakan ini bukan menyasar penjual di pasar-pasar, melainkan importir yang membawa pakaian bekas dari luar negeri.

“Razia yang dilakukan DJBC tidak akan ke pasar-pasar yang menjual pakaian bekas. Penindakan dilakukan di pelabuhan dan sanksinya untuk importir,” katanya.

Ia mendorong para pedagang untuk beralih menjual pakaian dari produksi dalam negeri, terutama hasil karya UMKM. “Kan masa kita melegalkan yang ilegal, sementara produksi di dalam negeri mati. Kan sama juga untungnya nanti yang didapat. Mereka yang penting untung,” ujar Purbaya.


 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Fauza Syahputra, Rahayu Subekti