Menilik Penyebab Kasus Kematian Virus Corona di AS Terbanyak di Dunia

ANTARA FOTO/REUTERS/Brendan Mcdermid wsj/dj
Ilustrasi. Amerika Serikat per Senin (13/4) mencatat jumlah kematian karena virus corona terbanyak di dunia, yaitu 22.108 kasus.
Penulis: Sorta Tobing
13/4/2020, 16.32 WIB

Amerika Serikat sedang mengalami kasus terbanyak pasien positif virus corona di dunia saat ini. Menurut data John Hopkins Coronavirus Resource Center, total kasus infeksi di wilayah tersebut hingga Senin (13/4) telah mencapai 557.590 kasus, tertinggi di antara 184 negara terjangkit lainnya.

Angka tersebut sekaligus melampaui negara tempat Covid-19 pertama kali muncul, yakni Tiongkok, dengan total 83.135 kasus. Sementara posisi kedua dan ketiga masing-masing diduduki oleh Spanyol (166.831 kasus) dan Italia (156.363 kasus).

Angka kematian akibat virus corona di AS pun tertinggi di dunia, yaitu 22.108 kasus. Kota New York menyumbang jumlah kematian terbesar, yaitu 6.898 orang. Lantas, apa yang membuat negara adikuasa itu seperti tak mampu mengatasi pandemi corona?

(Baca: Gelombang PHK Imbas Corona Mulai Menerpa Indonesia)

Sikap Pemerintah AS yang Meremehkan

Vox.com menulis pada Februari lalu menjadi saat terburuk bagi manajemen bencana pemerintah AS. Presiden Donald Trump dan sebagian besar pejabat pemerintah kompak meyakinkan masyarakat bahwa virus corona adalah sesuatu yang tidak perlu ditakutkan. Padahal, saat itu kasus infeksi sudah mulai ditemukan kendati dalam jumlah sedikit.

“Mereka mendesak kami untuk khawatir tentang flu, tetapi memperingatkan kami agar tidak bereaksi berlebihan.” kata peneliti sosial asal AS, Zeynep Tufekci.

Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS Tom Frieden mengatakan pada Januari 2020, pemerintah telah melarang masuknya warga yang datang dari Tiongkok. Momen ini sayangnya tidak dimanfaatkan untuk melakukan mitigasi.

Pemerintah malah menyia-nyiakannya kesempatan itu. “Setiap langkah dari respon pemerintah saat ini sangat gagal,” kata Frieden.

(Baca: Pemerintah Prediksi Puncak Penularan Virus Corona Terjadi pada Mei)

Dilansir dari The Guardian, para ahli medis juga menyebut Trump terlalu menyederhanakan Covid-19. Presiden AS ke-45 itu sekadar menganggapnya sebagai ancaman luar negeri yang dapat diatasi hanya dengan menutup perbatasan negara.

Dalam opininya yang dipublikasikan di CNN pada 27 Maret lalu, ekonom dan Direktur The Earth Institute dari Universitas Columbia, Jeffrey Sachs, mengkritik Trump yang meremehkan pandemi corona dengan banyak memberikan klaim palsu.

Kritik kerasnya terutama tertuju pada optimisme Trump yang menargetkan ekonomi bisa kembali pada hari raya Paskah, yang berlangsung kemarin. Padahal, para ahli sudah berulang kali mengatakan ancaman Covid-19 akan bertahan lebih lama dari itu.

“Orang Amerika di seluruh negeri berjuang untuk tetap hidup, sementara Trump bertindak seolah-olah dia lebih berniat menyelamatkan ekonomi. Kita membutuhkan tindakan tegas di seluruh negara bagian dan kota,” tulis Sachs.

(Baca: Menginfeksi Sejak Desember 2019, Covid-19 Telah Bermutasi Jadi 3 Tipe)

Selain itu, Trump juga dianggap bertanggungjawab atas pelemahan sistem kesehatan masyarakat di negaranya. Ia membubarkan unit penanganan pademi dari Dewan Keamanan Nasional AS pada 2018, hingga memangkas anggaran tim CDC di 39 negara, termasuk Tiongkok.

 “Ini adalah krisis yang mengerikan dan kegagalan luar biasa Presiden Donald Trump. Orang AS menderita dan sekarat karena pemerintah yang gagal bertindak cepat dan tegas untuk mencegah penyebaran virus,” kata Sachs.

Tes Covid-19 di AS Terlalu Tersentralisasi

AS adalah salah satu negara yang juga berupaya menjalankan tes virus corona kepada masyarakatnya. Namun, dilansir dari Vox.com, tes di negara itu terlalu dipusatkan kepada CDC. Sementara laboratorium independen tidak diizinkan melakukan tes sendiri.

Misalnya, pada 25 Maret lalu Trump menolak langsung rencana proyek tes yang hendak dilakukan oleh Seattle's Flu Study. “Kami bisa membantu, tetapi kami tidak bisa melakukan apa pun,” kata Helen Chu, pemimpin proyek tersebut.

Laboratorium independen yang hendak melakukan proyek tes virus corona secara mandiri harus melalui proses birokrasi yang rumit. Menurut aturan CDC, setidaknya mereka harus mengantongi izin dari Badan Administrasi Makanan dan Obat-Obatan (FDA) dan Pusat Pelayanan Medis AS (CMS). Pengurusan izin tersebut bisa memakan waktu berbulan-bulan.

(Baca: Universitas Oxford Targetkan Vaksin Corona Tersedia Bulan September)

Selain itu, AS juga sempat menerapkan aturan ketat perihal pelaksanaan tes. Dalam aturan itu, hanya masyarakat dengan riwayat perjalanan ke Tiongkok yang diperbolehkan menerima tes. Sementara tes tidak diberikan kepada warga yang pulang dari negara lain yang juga menjadi episentrum penyebaran virus corona, seperti Korea Selatan, Italia, dan Iran.

Pada 29 Januari lalu, lembaga-lembaga penelitian berinisiatif memutuskan untuk berhenti menunggu CDC dan melakukan tes secara mendiri. Awalnya, CDC dan FDA memerintahkan pemberhentian. Namun, karena tes-tes independen tersebut menghasilkan lebih banyak temuan kasus infeksi virus corona di AS, aturan pun dilonggarkan.

Laboratorium independen diperbolehkan menjalankan tes sendiri pada Maret lalu. Namun, masih dengan syarat harus membuat laporan validasi kepada FDA.

Dilansir dari The Guardian, AS juga memiliki tingkat kemampuan tes virus corona lebih rendah ketimbang Korea Selatan. Hingga bulan Maret, AS baru menjalankan tes terhadap 11 ribu orang, sementara Korea Selatan melakukan tes 15 ribu orang setiap harinya.

(Baca: Imbas Corona, Beli Bahan Pokok di Amazon Harus Antre dan Dibatasi)

Penulis: Nobertus Mario Baskoro (Magang)