Serba-serbi Lockdown Wuhan Akibat Covid-19 yang Berakhir Hari Ini

ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song/hp/dj
Aly Song Warga menggunakan masker penutup wajah menunggu kereta bawah tanah di hari pertama dibukanya kembali layanan kereta yang dihentikan akibat wabah virus corona (COVID-19), di Wuhan, provinsi Hubei, pusat penularan wabah, China, Sabtu (28/3/2020).
Penulis: Pingit Aria
8/4/2020, 17.46 WIB

Pemerintah Tiongkok secara resmi mengakhiri lockdown atau penguncian wilayah di kota Wuhan, Provinsi Hubei, pada Rabu (8/3). Wilayah yang menjadi episentrum penyebaran virus corona ini telah melewati lockdown selama 76 hari.

Dilansir dari Time, sejak dini hari tadi 11 juta penduduk Kota Wuhan telah diizinkan untuk memulihkan aktivitas mereka, termasuk untuk meninggalkan kota. Meski, ketentuan ini berlaku bagi warga yang terdaftar dengan kode pelacakan hijau, yang mengartikan kondisi sehat dan belum berkontak dengan pasien terinfeksi Covid-19.

Berakhirnya lockdown pun dirayakan oleh warga Wuhan dengan mengadakan pertunjukan cahaya di sepanjang pesisir Sungai Yangtze. Ramai-ramai mereka melambaikan bendera sambil menyanyikan lagu kebangsaan Tiongkok secara akapela, sementara gedung pencakar langit menampilkan animasi petugas kesehatan yang menyelamatkan pasien.

Jembatan, terowongan, dan jalan protokol yang sebelumnya lengang dengan cepat terisi oleh kendaraan pribadi dan transportasi umum. Selain itu, ribuan orang turut memenuhi stasiun dan bandara untuk melakukan perjalanan pertama setelah berakhirnya masa karantina.

(Baca: Setelah 76 Hari Lockdown, Akses Wuhan Akhirnya Dibuka Penuh)

Berikut adalah fakta-fakta seputar lockdown Wuhan yang baru saja berakhir:

1. Aturan Ketat

Pemerintah daerah Wuhan pertama kali mengumumkan lockdown pada 23 Januari, pukul 02.00 dini hari waktu setempat. Mulai pukul 10.00 di hari itu, transportasi publik, termasuk bus, kereta, penerbangan, hingga perjalanan kapal feri ditangguhkan.

Di sore hari, seluruh jalan bebas hambatan di Wuhan ditutup. Keesokan harinya, 12 jalur penghubung Wuhan dengan wilayah lain ditutup. Pada bulan Februari, aturan lockdown diperluas, di mana seluruh perusahaan tak strategis di Wuhan tidak boleh lagi beroperasi.

Kondisi tersebut berbeda dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB di Jakarta yang mulai berlaku Jumat (10/4). Dalam PSBB Jakarta, transportasi umum masih boleh beroperasi dengan tetap menjaga jarak aman penumpangnya.

(Baca: Aturan Rinci PSBB Jakarta yang Berlaku Mulai 10 April 2020)

Dilansir dari CNN, sejak berlakunya lockdown, warga Wuhan diharuskan untuk bertahan di rumahnya masing-masing. Mereka yang hendak keluar harus mengantongi izin dari pihak berwenang. Akibatnya, banyak warga berinisiatif menjalankan aktifitas sebelum matahari terbit.

Tak hanya membatasi kegiatan di luar, pemerintah bersama petugas Kesehatan Kota Wuhan mengunjungi rumah-rumah untuk melakukan pemeriksaan. Mereka yang terdeteksi sakit dipaksa untuk mengisolasi diri di kamar.

Pembatasan tersebut baru dilonggarkan kembali pada 27 Maret lalu, di mana warga Wuhan mulai diperbolehkan kembali menjalani aktivitasnya. Meski, saat itu pengawasan ketat masih berlaku bagi pendatang.

2. Kekurangan Tenaga Medis

Pemerintah Tiongkok membangun beberapa rumah sakit darurat untuk menangani wabah Covid-19 di Wuhan. Namun, begitu banyaknya pasien membuat tenaga medis kewalahan.

Dilansir dari CNBC, pemerintah Tiongkok mengirim 30 ribu staf medis ke provinsi Hubei, di mana sekitar dua per tiganya dikerahkan ke Wuhan. Ada 46 rumah sakit di kota tersebut yang jadi rujukan pasien Covid-19.

Bagaimanapun, selama lockdown berlangsung, masih ada saja warga Wuhan yang dilaporkan tidak mendapatkan perawatan dan ruang isolasi di rumah sakit.

Di saat yang sama, para petugas medis di Wuhan juga sulit mengakses Alat Pelindung Diri (APD) akibat lockdown. Pengiriman suplai APD terhambat karena pembatasan perjalanan, sementara produksinya terbatas karena perusahaan tidak bisa mengakses bahan baku.

New York Times melaporkan, banyak dokter yang berinisiatif membeli APD dengan uang pribadi, namun tidak sedikit pula yang meminta kepada rumah sakit dari wilayah lain di provinsi Hubei. Banyak petugas medis yang rela menahan diri untuk tidak makan, minum, dan buang air dalam waktu lama untuk menghemat pemakaian APD.

(Baca: Penangkapan Profesor Harvard dan Program Seribu Ilmuan Tiongkok)

3. Harga Pangan Mahal

Kendati masih diperbolehkan keluar rumah untuk membeli bahan makanan selama lockdown, warga Wuhan tetap mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dilansir dari CNN, sebagian besar warga Wuhan bergantung pada komite lingkungan yang ditunjuk oleh masing-masing wilayah untuk menyediakan bahan makanan. Seringkali, warga Wuhan harus membeli makanan dari mereka dengan harga lebih tinggi.

Harga sayuran melonjak tiga hingga empat kali lipat. Selama lockdown, media sosial Tiongkok Weibo dipenuhi dengan foto-foto struk belanja yang mahal dari warga Wuhan.

Walikota Wuhan Xu Honglan pada 29 Februari mengatakan bahwa kenaikan harga pangan dipicu oleh biaya pengiriman dan upah tenaga kerja yang meningkat tiga kali lebih tinggi sejak tejadi pandemi virus corona. Pemerintah daerah Wuhan berinisiatif menyediakan cadangan daging beku dan menjualnya 15% di bawah harga pasaran.

4. Sensor Pemerintah

Selama lockdown, warga dan jurnalis yang tinggal di Wuhan juga sulit memperoleh informasi secara lengkap akibat sensor dari pemerintah. Kondisi ini sempat diutarakan oleh jurnalis independen Melanie Wang yang ditempatkan di kota tersebut.

"Begitu banyak orang tak berdosa telah meninggal, termasuk tenaga medis, namun departemen terkait masih menghapus konten penting di internet dan membungkam orang agar tidak berbicara,” katanya, dikutip dari CNN.

(Baca: Tambahan 218 Kasus, Angka Positif Corona RI Dekati 3.000 Orang)

Keterbukaan informasi di Wuhan sempat menjadi sorotan saat peristiwa kematian seorang whistleblower, yakni dokter Li Wenliang akibat  Covid-19. Li diketahui sempat mendapatkan tekanan dari pihak berwenang Wuhan menyuarakan peringatan tentang kemunculan virus corona.

Warga Wuhan mencoba melawan penyensoran tersebut dengan memposting ulang sebanyak mungkin pemberitaan yang telah dihapus oleh pemerintah di media sosial Tiongkok, Weibo. Cara-cara kreatif dilakukan agar kiriman mereka lolos dari penghapusan otomatis, seperti menulis teks mundur atau vertikal, atau menggunakan huruf braille, kode morse, emoji, sampai bahasa asing.

Reporter: Nobertus Mario Baskoro