Cerita Orang Indonesia Jalani Isolasi saat Wabah Corona di Tiongkok

ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter
Seorang pria memakai masker saat ia menyebrangi sebuah jalan di distrik pusat bisnis di Beijing, saat negeri tersebut sedang terjadi wabah penularan virus korona baru, Tiongkok, Senin (2/3/2020).
Penulis: Yuliawati
11/3/2020, 14.28 WIB

Satu keluarga warga negara Indonesia merasakan hidup dalam isolasi untuk menghindari penularan virus corona atau Covid-19 di Tiongkok. Keluarga yang terdiri dari empat orang ini mengurung di apartemennya di kota Changchun, provinsi Jilin, Tiongkok bagian utara, lebih dari enam minggu.

Pasangan suami istri Benny Kharismana dan Wulan Kharismana tinggal di Changchun sejak 2015 bersama dua orang anak masing-masing berusia 9 dan 5 tahun. Hidup dalam isolasi mengubah keseharian mereka. Benny menuliskan catatannya di Facebook dan Katadata.co.id menceritakan kembali pengalaman mereka dengan izin dari Wulan.

Benny merupakan guru seni visual di di Changchun American International School yang mengajar lewat online sejak menjalani masa isolasi. Benny mengajar online sejak empat minggu lalu. Pada Minggu malam hingga Senin, dia menyiapkan materi dan tugas selama seminggu buat setiap kelas yang dia ajarkan.

(Baca: Menteri Kesehatan Inggris Positif Terjangkit Corona )

Kemudian dia mengunggahnya secara online, dan mengabarkan ke setiap kelas melalui chat group. “Selanjutnya, keseharian saya disibukkan dengan asistensi dan tanya jawab tugas,” kata Benny dikutip pada Rabu (11/3).

Sebagai pengajar visual arts, Benny meminta murid lebih banyak mengerjakan tugasnya secara offline lalu mengabarkan perkembangannya. Dia juga membuka sesi tatap muka dengan muridnya secara rutin lewat konferensi video. “Kebanyakan isi sesi ini berupa mengulas kembali tugas minggu itu dan diskusi progres tugas,” kata Benny.

Dia membagi waktunya dengan cermat untuk sesi tatap muka secara online karena beberapa murid berada di zona waktu yang berbeda. “Jadi waktu sesi tatap muka ini bisa bervariasi, ada yang jam 10 pagi, ada juga yang 5 sore,” kata Benny.

Pertemuan secara virtual juga berlaku untuk rapat sesama guru dan kepala sekolah. Karena ada rekan guru yang memiliki zona waktu berbeda, Benny pun meluangkan waktu untuk konferensi hingga jam 10 malam.

(Baca: AS Undang Facebook, Google hingga Amazon Bahas Virus Corona Hari Ini)

Metode pembelajaran online yang dia tempuh tak jauh berbeda dengan yang dialami putrinya. Anak tertuanya, Sophie (9) dan anak bungsunya Dayu (5) sudah lebih dari empat minggu  mereka menjalani sekolah online.

Setelah sarapan dan bermain sebentar, mulai Senin pagi, Sophie mencatat berbagai tugas yang dikirimkan guru-gurunya untuk dikerjakan selama seminggu. Selain tugas mingguan, Sophie mendapatkan video instruksi tambahan dari gurunya, sehingga daftar tugasnya bertambah.

Benny meminta Sophie mengatur waktunya dengan mengerjakan tugas sedikit demi sedikit. “Ini jadi kesempatan langka dia untuk belajar ketrampilan manajemen diri,” kata Benny.

(Baca: Satu Pasien Positif Corona di Indonesia Meninggal Dunia)

Setiap jam 14.30, Sophie bertemu dengan guru dan teman-temannya melalui sesi tatap muka virtual selama satu jam. Guru akan memberikan penjelasan mengenai pelajaran yang diberikan. 

Sophie merekam setiap tugas yang dikerjakan melalui foto, video, atau rekam layar yang dan kemudian dikirimkan kepada gurunya melalui email. “Sophie belajar ketrampilan literasi media digital, dari menulis dan mengirim email, mengonversi dokumen digital, dan mengoperasikan berbagai aplikasi,” kata Benny.

Selain pekerjaan secara digital, Sophie juga mengerjakan tugas yang memanfaatkan berbagai material di rumah. Benny menceritakan anaknya itu membuat musik melalui peralatan dapur hingga mengerjakan tugas sains dengan lego. Bahkan, memasak di dapur menjadi bagian tugas sekolah. 

Anak bungsu Benny, Dayu, yang masih kelas TK A pun menjalani sekolah online. Setiap hari mulai pukul 10.30, Dayu bertatap muka virtual bersama guru dan teman sekelasnya menggunakan konferensi video.

Tugas-tugas Dayu bervariasi, seperti mengamati cuaca dan mencatatnya dalam bentuk gambar. Tiap hari selama seminggu, pekerjaannya menggambar, dan membuat kerajinan. Ayah dan ibunya terkadang membantu Dayu.

Benny mengatakan tantangan terbesar menjalani hidup dalam isolasi adalah keterbatasan interaksi sosial. Anak-anak tak bisa bertemu dan bermain bersama teman-temannya. Salah satu hiburan mereka berkunjung ke taman bermain di kompleks apartemen saat cuaca hangat.

Mereka juga  menghibur dirir dengan menonton fil hampir tiap hari menjelang malam. Berbagai jenis film lama maupun baru mereka tonton, dari seri Star Wars, Indiana Jones, Back to the Future, Hobbit, hingga Lord of the Rings.

Benny mengatakan untuk memenuhi kebutuhan makanan selama masa isolasi tidaklah sulit. Setiap hari minimarket dan supermarket buka.  tetap buka seperti biasa. Setiap dua atau tiga hari sekali, Wulan keluar rumah untuk belanja. Dia harus menggunakan masker setiap keluar rumah dan cuci tangan sesudahnya.

Meski dalam keadaan sehat, pemerintah menganjurkan memakai masker. Bila tidak, maka diminta kembali ke rumah atau tak dapat memanfaatkan fasilitas umum. “Ada pemberitahuan di stasiun MRT, bagi yang tidak memakai masker tidak diperkenankan menaiki MRT,” kata Benny.

Selain aturan penggunaan masker, pemerintah menganjurkan pemeriksaan suhu tubuh setiap hari. Setiap masuk kembali ke dalam apartemen, petugas akan mengecek suhu tubuh. Benny pun harus melaporkan suhu tubuhnya dua kali dalam sehari ke kantor tempat dia bekerja.

Kini, wabah virus corona mulai berkurang di Tiongkok, termasuk di Changchun. Jumlah kasus corona di kawasan tersebut sebanyak 45 orang dan 39 orang sudah sembuh dan tak ada lagi pasien baru. Seriring dengan itu, aktivitas publik mulai berangsur normal.

Benny berharap ceritanya dapat menginspirasi siapa pun yang sedang menghadapi kekhawatiran wabah virus corona . “Agar tetap memegang harapan bahwa badai pasti akan berlalu."